material science
Saturday, October 29, 2011
PENGANTAR ILMU DAN TEKNOLOGI MATERIAL
Adakalanya, akan lebih memudahkan apabila membagi disiplin ilmu dan terknologi material ke dalam dua sub divisi, yaitu ilmu material (material science) pada satu sisi, dan teknologi material (material engineering) pada sisi yang lain. Bidang keilmuan material (material science) mencakup investigasi mengenai keberadaan hubungan antara struktur material dengan sifatnya. Sedangkan, teknologi material (material engineering), dengan didasarkan pada hubungan antara struktur material dengan sifatnya tersebut, merupakan upaya merancang dan memanipulasi struktur material guna menghasilkan suatu produk material dengan sifat – sifat tertentu.
Apabila dilihat dari perspektif fungsional, secara sederhana, peranan ilmuwan material adalah untuk mengembangkan dan mensintesa material – material baru, sedangkan teknisi material punya andil dalam menciptakan produk atau sistem baru dengan menggunakan material yang telah tersedia atau mengembangkan teknik – teknik pegolahan material. Hal yang kemudian juga menjadi bagian penting dari bidang ini adalah istilah “struktur” dan “sifat material”.
“Struktur” material bisa memiliki berbagai definisi. Akan tetapi, pada dasarnya, “strukktur” selalu berhubungan dengan susunan komponen – komponen internal material. Dalam konteks ini, pengertian struktur akan berbeda – beda tergantung pada level ukuran komponen material yang diacu. Struktur pada level sub atomik, dikenalkan sebagai berbagai karakteristik elektron di dalam suatu atom secara individu, serta interaksi dengan nukleusnya (pusat atom). Pada level atomik, struktur dijelaskan sebagai atom – atom atau molekul – molekul yang membentuk kelompok secara relatif antara satu dengan yang lainnya. Pada tingkatan pengertian struktur yang lebih tinggi, struktur merupakan pengelompokan dari kelompok atom – atom atau molekul – molekul, dalam skala besar yang kemudian disebut sebagai skala mikroskopis. Kegiatan – kegiatan struktur material pada level ini dapat diamati dengan bantuan mikroskop. Selanjutnya, ketika struktur dapat diamati secara langsung oleh mata telanjang (visual), maka tingkatan struktur ini disebut struktur makroskopis.
Pengertian “sifat material” dapat dijelaskan melalui hubungan antara material dengan lingkungan di sekitarnya. Dalam suatu kegiatan aplikasi, semua material akan memberikan respon – respon tertentu terhadap suatu perlakuan eksternal yang diberikan. Misalnya, spesimen material yang diberikan suatu pembebanan akan mengalami deformasi (perubahan bentuk), sebuah material yang permukaannya dipoles akan mampu memantulkan cahaya, material logam yang ditempatkan pada lingkungan yang korosif dalam jangka waktu tertentu akan megalami korosi. Sebuah “sifat material” menggambarkan besarnya tanggapan material terhadap perlakuan spesifik yang dibebankan. Pada umumnya, pengertian sifat material kemudian dibuat independen terhadap faktor dimensi (ukuran dan bentuk).
Sifat – sifat material tersebut kemudian dikelompokkan ke dalam enam kategori berbeda, didasarkan jenis perlakuan yang diberikan. Ke enam kategori tersebut yaitu : sifat mekanik, elektrik, termal, magnetik, optik, dan deterioratif. Untuk masing – masing jenis sifat material ini terdapat sebuah tipe atau ciri karakteristik dari kemampuan material dalam memberikan respon terhadap sebuah rangsangan perlakuan. Sifat mekanik, mengacu pada terjadinya perubahan – perubahan bentuk material sebagai akibat adanya sebuah aplikasi pembebanan mekanik, misalnya ditunjukkan melalui nilai modulus elastisitas, kekutan tarik, dan lain sebagainya. Sifat elektrik, seperti misalnya konduktivitas atau konstanta dielektrik, media stimulusnya adalah medan listrik. Perilaku yang unik dari berbagai jenis material solid ketika mendapat rangsangan termal, dapat diukur misalnya melalui kapasitas panas atau konduktivitas termal. Sifat magnetik dapat dilihat dari respon material terhadap medan magnet. Pada sifat optik, stimulusnya dapat berupa elektromagnetik atau radiasi cahaya, dimana kemudian direpresentasikan sebagai nilai index refraksi (penghamburan) atau reflektivitas (pemantulan). Terakhir, sifat deterioratif mengacu kepada reaktivitas kimia material.
Sebagai tambahan terhadap istilah “strukur” dan “sifat” seperti yang dijelaskan di atas, terdapat dua istilah penting lainnya yang seringkali menjadi perbincangan dalam bidang ilmu dan teknologi material. Kedua istilah tersebut yaitu “proses” dan “performa”. Ke empat istilah ini (struktur, sifat, proses dan performa) kemudian membentuk suatu kesatuan hubungan. Struktur suatu material yang terbentuk akan tergantung terhadap bagaimana material tersebut sebelumnya diproses. Struktur material yang terbentuk kemudian akan mempengaruhi sifat dari material. Performa material dalam suatu aplikasi merupakan suatu fungsi dari sifat – sifat material.
Proses → struktur → sifat → performa
Pada taraf aplikasi hampir semua ilmuwan dan teknisi, baik itu dari bidang permesinan, sipil, kimia, atau kelistrikan, pada suatu waktu akan selalu dihadapkan pada permasalahan perancangan yang melibatkan pertimbangan terhadap material. Sebagai contoh, misalnya dalam suatu perancangan sistim transmisi gear, struktur bangunan, komponen – komponen pada perlengkapan pengolahan minyak bumi, atau pada sebuah chip integrated circuit (IC). Tentu saja, ilmuwan dan teknologi material merupakan spesialis dalam kasus ini.
Seringkali, permasalahan material biasanya merupakan upaya menentukan material mana yang paling tepat dalam suatu aplikasi, diantara sekian banyak variasi material yang tersedia. Terdapat beberapa kriteria yang kemudian mendasari pengambilan keputusan. Pertama kondisi aplikasi harus bisa dikenal, yang kemudian akan diketahui material dengan sifat seperti apa yang akan dibutuhkan dalam aplikasi tersebut. Dalam suatu peristiwa yang sangat jarang terjadi, material akan memiliki kombinasi sifat yang maksimum atau ideal. Hal ini memungkinkan pentingnya untuk mempertukarkan sifat yang satu dengan sifat yang lain untuk mendapatkan sifat terbaik. Contoh klasik dari permasalahan ini adalah pada pembahasan tentang kekuatan dan keuletan. Pada sebagaian besar kasus, material yang memiliki kekuatan (strength) yang tinggi akan memiliki keuletan (ductility) yang rendah, begitu pula sebaliknya.
Kriteria kedua adalah kemungkinan adanya sejumlah reaksi kimia yang terjadi selama kegiatan aplikasi berlangsung. Sebagai contoh, pengurangan kekuatan dan masa pemakaian secara signifikan perlengkapan – perlengkapan mesin bisa disebabkan karena pemakaian pada temperatur yang terlampau tinggi dan lingkungan yang korosif.
Kriteria terakhir yang tidak kalah penting yaitu pertimbangan ekonomi. Seringkali akan muncul pertanyaan mengenai berapa kemungkian biaya akhir yang dibutuhkan. Sebuah material barangkali akan memenuhi secaara ideal dari sisi karakteristik, namun memiliki biaya pengadaan yang terlampau mahal.
Thursday, October 27, 2011
Conversations-on-Innovations: USA's National Center for Manufacturing Sciences practises what many already believe "that collaboration is innovation's incubator"
LINK:
Conversations-on-Innovations: USA's National Center for Manufacturing Sciences practises what many already believe "that collaboration is innovation's incubator"As the UK Advanced Manufacturing Consortium kicks into place...
Tuesday, October 25, 2011
University Ranking Times and The Complete
WORLD RATINGS ARE A DOWNER FOR SCOTISH UNIVERSITIES
but things look a wee bit better on the UK only score card _ scroll down
Technology & Engineering
Times Higher Education world-university-rankings/2011-2012/ Tech & Eng
,
6 University of Cambridge, 8. University of Oxford , 9. Imperial College London
Phys-Sci 2010-2011Phys Sci 2010-2011 2011-12 to be published 10 Nov 2011.
8 University of Cambridge, 10 University of Oxford, 13. Imperial College London
27 University of Edinburgh
For good measure
Arts and Humanities Universities 2010-2011
16 University of Edinburgh, 20 University of St. Andrews
Top 50 Social Sciences Universities 2010-2011 No Comment!
Top 50 Clinical, Pre-clinical and Health Universities 2010-2011 idem
Life Sciences
UK ONLY
UK University Subject Tables 2012 & Mechanical engineering
Business Studies
16 Strathclyde The Business School was the 1st created in 1963 my entry year!
It may be tempting to say that "it's not what you know but who you know" in terms of maintaining Univ ranking for this also is a student criteria in choosing a School but I admit to have lacked the motivation to study the above criteria in-depth - I trust the staff do this in depth
And I wonder if spin-off revenue and industrial and enterprise funding "Invention - Innovation - Marketing" enter such estimations? If they do will the Uni's loose their independence of thought, ethics and independence? Strong leadership and independent spirit will remain a premium
but things look a wee bit better on the UK only score card _ scroll down
Technology & Engineering
Times Higher Education world-university-rankings/2011-2012/ Tech & Eng
,
6 University of Cambridge, 8. University of Oxford , 9. Imperial College London
Phys-Sci 2010-2011Phys Sci 2010-2011 2011-12 to be published 10 Nov 2011.
8 University of Cambridge, 10 University of Oxford, 13. Imperial College London
27 University of Edinburgh
For good measure
Arts and Humanities Universities 2010-2011
16 University of Edinburgh, 20 University of St. Andrews
Top 50 Social Sciences Universities 2010-2011 No Comment!
Top 50 Clinical, Pre-clinical and Health Universities 2010-2011 idem
Life Sciences
UK ONLY
UK University Subject Tables 2012 & Mechanical engineering
7 | Strathclyde Just holding our own considering our history, Andersonian Inst -> The Royal College of Sci & Tech Glasgow |
Business Studies
16 Strathclyde The Business School was the 1st created in 1963 my entry year!
It may be tempting to say that "it's not what you know but who you know" in terms of maintaining Univ ranking for this also is a student criteria in choosing a School but I admit to have lacked the motivation to study the above criteria in-depth - I trust the staff do this in depth
And I wonder if spin-off revenue and industrial and enterprise funding "Invention - Innovation - Marketing" enter such estimations? If they do will the Uni's loose their independence of thought, ethics and independence? Strong leadership and independent spirit will remain a premium
Interdisciplinary Advanced Forming Research Centre, Univ of Strathclyde "The Tech", One of 7 Members of the Advanced Manufacturing Consortium
NEWS RELEASE & PERSONAL NOTES:
This post arose from a short note in the Strathclyde Quarterly Alumni Mag., Autumn 2011. and a real pleasure to see that the once proud Metallurgy Department-Colville Building has prominent place in the new Advanced Manufacturing Consortium (even if Sheffield houses a couple of Centres, cf. ref.1, below and the metals recycling spin-off was cornered by Heriot-Watt 's Caledonian Aerotech. cf refs.3 & 4, below) The notes in parenthesis are more than sour grapes they are intended to keep my colleagues up-north on their toes...
Now it is also encouraging to learn that, fittingly, my old outfit Aubert & Duval-Imphy are among the sponsors, cf. ref.3.
The Advanced Forming Research Centre (AFRC) is a collaborative venture between the University of Strathclyde, Scottish Enterprise,the Scottish Government and internationally renowned engineering firms including Rolls‐Royce, Boeing, Mettis Aerospace, TIMET, Aubert and Duval Aubert and Duval and Barnes Aerospace.
Formally opened in January 2011 by HRH the Duke of York, the AFRC represents a total investment of £30M over 5 years.
The Centre undertakes fundamental and applied research, and develops cutting‐edge forming and forging techniques to support manufacturing processes in the aerospace, energy, marine and
automobile industries.
Key manufacturing challenges:
-Tighter tolerances: Plant monitoring, control and robotics.
-Longer die life: Improved die design and use.
-Lubrication: Investigating mechanisms and improved lubricants.
Improved models: Microstructure, properties and probabilistic methods
This post could and should, given time, be extended to give much credit to the UK, Innovation Strategy Initiative
References
1. Innovate UK_newsletter 01_june2011 [pdf]
2. Technology Strategy Board
3. Materials Science and Technology, Feb. 1985, Vol 1- 1st Issue. strong evidence of work done at AD_Imhpy (Imphy SA at the time) In fact much more was achieved, from initiating the industrial aceptation of the project requested by GE-SNECMA, to the industrial realisations to tight tolerances Chemistry, Microstracture, cleanness, equivalence of virgin materials and recycled aero-engine scrap material, imposed by client QC-AQ procedures
Recycled alloy718 supplied by Ireland Alloys Ireland Alloys in Blantyre, Scotland now part of Murry Metals Grp 1982 to 1986. Excellent source.
4. Caledonian Aerotech
Caledonian Aerotech has carved a lucrative niche in the multi-billion dollar global aerospace market by recycling and processing the special alloys used in the production of aircraft engines, land-based turbines and in the petrochemical industries.
A core process is recovering the metal left after machining, then cleaning, grading and preparing it to be returned as ‘chips’ to specialist melters for re-use, (PS shunned upon by Aerospacial Toulouse now EADS for aluminium-lithium [Al-Li alloys] in 1988! but registered in my report to Airbus Industry on Materials Selection 1988.
This post arose from a short note in the Strathclyde Quarterly Alumni Mag., Autumn 2011. and a real pleasure to see that the once proud Metallurgy Department-Colville Building has prominent place in the new Advanced Manufacturing Consortium (even if Sheffield houses a couple of Centres, cf. ref.1, below and the metals recycling spin-off was cornered by Heriot-Watt 's Caledonian Aerotech. cf refs.3 & 4, below) The notes in parenthesis are more than sour grapes they are intended to keep my colleagues up-north on their toes...
Now it is also encouraging to learn that, fittingly, my old outfit Aubert & Duval-Imphy are among the sponsors, cf. ref.3.
The Advanced Forming Research Centre (AFRC) is a collaborative venture between the University of Strathclyde, Scottish Enterprise,the Scottish Government and internationally renowned engineering firms including Rolls‐Royce, Boeing, Mettis Aerospace, TIMET, Aubert and Duval Aubert and Duval and Barnes Aerospace.
Formally opened in January 2011 by HRH the Duke of York, the AFRC represents a total investment of £30M over 5 years.
The Centre undertakes fundamental and applied research, and develops cutting‐edge forming and forging techniques to support manufacturing processes in the aerospace, energy, marine and
automobile industries.
Key manufacturing challenges:
-Tighter tolerances: Plant monitoring, control and robotics.
-Longer die life: Improved die design and use.
-Lubrication: Investigating mechanisms and improved lubricants.
Improved models: Microstructure, properties and probabilistic methods
This post could and should, given time, be extended to give much credit to the UK, Innovation Strategy Initiative
References
1. Innovate UK_newsletter 01_june2011 [pdf]
2. Technology Strategy Board
3. Materials Science and Technology, Feb. 1985, Vol 1- 1st Issue. strong evidence of work done at AD_Imhpy (Imphy SA at the time) In fact much more was achieved, from initiating the industrial aceptation of the project requested by GE-SNECMA, to the industrial realisations to tight tolerances Chemistry, Microstracture, cleanness, equivalence of virgin materials and recycled aero-engine scrap material, imposed by client QC-AQ procedures
Recycled alloy718 supplied by Ireland Alloys Ireland Alloys in Blantyre, Scotland now part of Murry Metals Grp 1982 to 1986. Excellent source.
4. Caledonian Aerotech
Caledonian Aerotech has carved a lucrative niche in the multi-billion dollar global aerospace market by recycling and processing the special alloys used in the production of aircraft engines, land-based turbines and in the petrochemical industries.
A core process is recovering the metal left after machining, then cleaning, grading and preparing it to be returned as ‘chips’ to specialist melters for re-use, (PS shunned upon by Aerospacial Toulouse now EADS for aluminium-lithium [Al-Li alloys] in 1988! but registered in my report to Airbus Industry on Materials Selection 1988.
Monday, October 10, 2011
Metallurgy for dummies_Just added to my blog list
I blogged this item with a colleague's project in mind "Writing elementary materials science lectures"
The topics in this blog are up-to-date subjects, images are good but for educational material I believe our college and fellow IOM3 member will bring the necessary underlying scientific principles to light/
Anyway here is the blog link which may also be found by scrolling right down to the very foot of my page...
Metallurgy for dummies
I shall be pleased to pass on any further information on such approaches to our fellow materials science colleague.
Good luck and best wishes to all contributors
The topics in this blog are up-to-date subjects, images are good but for educational material I believe our college and fellow IOM3 member will bring the necessary underlying scientific principles to light/
Anyway here is the blog link which may also be found by scrolling right down to the very foot of my page...
Metallurgy for dummies
I shall be pleased to pass on any further information on such approaches to our fellow materials science colleague.
Good luck and best wishes to all contributors
Sunday, October 2, 2011
EKSTRAKSI SILICA (SiO2) DARI ABU SEKAM PADI SEBAGAI BAHAN BAKU PENGUAT KOMPOSIT BERMATRIKS ALUMUNIUM (AMCs) UNTUK APLIKASI BAHAN KOMPONEN OTOMOTIF
Berikut adalah studi saya bersama teman-teman ketika masih kuliah. Semoga bisa bermanfaat bagi Anda.
I. PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang Masalah
Dewasa ini, perkembangan teknologi komposit, khususnya metal matrix composite (MMCs) semakin maju seiring dengan perkembangan teknologi industri otomotif. Penggunaan baja sebagai bahan suku cadang dan komponen otomotif mulai digantikan dengan bahan komposit dimana memiliki sifat mekanik dan ketahanan korosi yang lebih baik. Metalurgi serbuk (powder metallurgy) merupakan salah satu metode pembuatan MMCs yang paling banyak digunakan dalam pembuatan komponen industri otomotif karena menawarkan efisiensi bahan baku dan energi yang lebih baik dibandingkan dengan metode produksi lainnya.
Penerapan teknologi MMCs dalam industri otomotif di Indonesia, khususnya yang berbasis powder metallurgy masih belum optimal. Hal ini dapat dilihat dari jumlah produksi komponen otomotif dalam negeri yang masih rendah, yaitu sebesar 200 produk dibandingkan dengan Thailand yang sudah memiliki 1.500 produk industri komponen. Padahal, kebutuhan komponen otomotif dalam negeri, baik untuk kendaraan baru maupun untuk spare parts cukup besar karena menurut data statistik tahun 2006, jumlah populasi kendaraan bermotor roda empat di tanah air adalah 9.461.984 unit, sedangkan untuk kendaraan bermotor roda dua adalah 23.312.945 unit. (http://www.bppt.go.id/).
Kekayaan SDA nasional sebenarnya menawarkan potensi pengadaan material – material yang dapat dimanfaatkan dalam proses pembuatan MMCs untuk mendukung kemajuan industri otomotif dalam negeri. Salah satunya adalah sekam padi dimana berdasarkan penelitian, (Houston, 1972; Hara,1986; Shofiatun, 2000 dalam Harsono, 2002), diketahui banyak mengandung bahan keramik silika (SiO2). Harga sekam padi di pasaran cukup murah, dan ketersediannya di alam juga melimpah. Di wilayah Jawa Timur saja, potensi sekam padi yang dapat dihasilkan dapat mencapai 3,2 juta ton tiap tahunnya.
Akan tetapi, dari jumlah ini hanya sebagian kecil saja yang dimanfaatkan. Selama ini, sekam padi sering hanya digunakan sebagai bahan pembakar bata merah atau dibuang begitu saja. (Pakpahan, 2006). Padahal bahan SiO2 yang terkandung dalam sekam padi dapat dimanfaatkan sebagai bahan penguat pada MMCs.
Proses ekstraksi silika dilakukan terhadap abu sekam padi yang merupakan hasil proses pembakaran sekam padi. Terdapat beberapa metode pemurnian silika dari sekam padi mulai dari yang mahal hingga yang murah dan sederhana. (Harsono, 2002; Mittal, D., 1997). Harsono (2002) melakukan ekstraksi silika dari sekam padi melalui beberapa tahapan proses. Proses tersebut meliputi pengeringan, pengabuan, pengarangan, pengasaman, dan identifikasi unsur.
Silika (SiO2) memimilki kekerasan, sifat tahan aus, ketahanan termal dan kekakuan yang tinggi. Apabila material ini digunakan sebagai penguat dan dipadukan dengan aluminium sebagai matriks maka akan dapat dihasilkan komposit yang memiliki kekuatan serta ketahanan korosi tinggi, ringan serta machinability yang baik. Jenis MMCs yang bermatriks alumunium seperti ini disebut AMCs (Alumunium Matrix Composite). Aplikasi AMCs pada komponen otomotif diantaranya pada cylinder liner, disc brake, drum brake, dan engine piston. (Schumacher.C., 1991).
Penelitian terhadap AMCs berpenguat SiO2 pernah dilakukan sebelumnya oleh Gregolin (2002). Bahan SiO2 yang digunakan merupakan bahan non sintetik yang diambil dari endapan mineral yang terdapat di pegunungan Brazil yang disebut spongilites. Komponen yang terkandung pada mineral ini adalah silika (> 90 %), Al2O3 (< 0,5 %), dan Fe2O3 (dapat mencapai hingga 1 persen) serta mempunyai struktur kristal campuran amorf dan kristalin. Selama proses heat treatment pada suhu 600 oC diketahui terbentuk struktur co – continuous AlSi/Al2O3 pada interface dimana mampu menambah kekuatan ikatan antar muka antara partikel matriks dan penguat pada komposit.
Pada kegiatan ini akan diteliti pengaruh besar temperatur pengabuan sekam padi terhadap kandungan SiO2 dan fasa – fasa lain yang dihasilkan. Temperatur pengabuan divariasikan pada tempertur 600, 750, dan 900 oC. Dari variasi temperatur pengabuan ini dikatahui juga akan berpengaruh terhadap karakteristik kristal SiO2 yang terbentuk dimana kemudian akan ditinjau pengaruhnya terhadap karakteristik ikatan antar muka yang terbentuk pada partikel komposit. Fraksi volume penguat SiO2 divariasikan menjadi 10, 25, dan 40 persen. Sifat mekanik komposit perlu juga diukur untuk mengetahui apakah komposit Al/SiO2 ini layak untuk diaplikasikan sebagai bahan komponen otomotif.
I.2 Perumusan Masalah
Permasalahan yang diangkat pada program ini dirumuskan sebagai berikut:
I.3 Tujuan Program
Adapun tujuan dari pelaksanaan kegiatan penelitian ini adalah sebagai berikut.
I.4 Luaran yang Diharapkan
Luaran yang diharapkan dari program ini adalah diperoleh suatu teknik rekayasa material baru yang berbasis metal matrix composites melalui metode powder metallurgy dengan memanfaatkan bahan – bahan SDA nasional. Seperti diketahui Indonesia memiliki kekayaan bahan tambang seperti bijih bauskit yang merupakan bahan baku alumunium serta kuantitas sekam padi yang cukup besar namun belum dimanfaatkan secara optimal. Hal ini mendorong adanya penelitian – penelitian untuk meningkatkan efektifitas dan efisiensi keberadaan bahan – bahan tersebut melalui pengembangan teknologi rekayasa material yang murah dan sederhana seperti yang akan dilakukan dalam penelitian ini. Besar harapan agar dari teknologi tersebut nantinya bangsa Indonesia mampu memproduksi bahan komponen dan suku cadang otomotif secara mandiri.
I.5 Kegunaan Program
Kegunaan dan manfaat dari program penelitian ini diantaranya adalah sebagai berikut:
II. TINJAUAN PUSTAKA
Komposit adalah gabungan dari dua material atau lebih yang berbeda secara makroskopis, dimana sifat yang dihasilkan merupakan perpaduan sifat dari elemen penyusunnya. Material pembentuk komposit ada dua yaitu matriks dan penguat (reinforcement). Matriks merupakan bahan yang berperan sebagai penyangga dan pengikat bahan penguat. Matriks memiliki karakteristik lunak, ulet, berat per satuan volume yang rendah serta modulus elastisitas yang lebih rendah dari penguatnya. Antara partikel matriks dan penguat harus memiliki kemampuan mengikat dan atau memberikan ikatan antar muka (interface bonding) yang kuat satu sama lain. (Jones, R. M., 1975)
Metal Matrix Composites (MMCs) merupakan salah satu jenis komposit dimana matriks yang digunakan adalah dari bahan logam. MMCs tergolong ke dalam komposit partikulat dimana termasuk komposit isotropik karena partikel penguatnya tersebar merata pada matriks, sehingga distribusi penguatannya sama ke segala arah. Komposit partikulat pada umumnya keuletan (ductililty) dan ketangguhannya (failure thoughness) menurun dengan semakin tinggi fraksi volume penguatnya. (Froyen dan Verlinden, 1994).
Pada komposit partikulat, nilai modulus elastisitasnya secara teoritis dapat dihitung dengan menggunakan persamaan Halpin-Tsai (Cawla, 1987), yaitu:
Salah satu contoh dari MMCs yang paling banyak penggunaannya adalah AMCs dimana bahan logam alumunium bertindak sebagai matriks. Pemanfaatan AMCs dalam industri otomotif memiliki beberapa alasan yaitu untuk meningkatkan temperatur operasi mesin, memperbaiki properti (tahan aus), meningkatkan kekakuan dan kekuatan, serta mereduksi berat bagian mesin. (Schumacher.C., 1991).
II.1 Metode Pembuatan MMCs
MMCs dapat dibuat dengan menggunakan metode peleburan atau dengan metalurgi serbuk (powder metallurgy). Metode peleburan dilakukan dengan memasukkan komponen penguat yang memiliki titik leleh lebih tinggi ke dalam komponen matriks yang dilelehkan. Pencampuran ini disertai dengan pengadukan untuk diperoleh penguat yang tersebar lebih merata pada matriks kemudian dituang atau dicetak ke dalam cetakan.
Sedangkan pada metode metalurgi serbuk terdapat beberapa tahapan proses yang meliputi pencampuran, penekanan dan sintering. (Hirschhorn, J. S., 1976). Pencampuran adalah penggabungan dua bahan serbuk atau lebih dengan komposisi tertentu untuk memperoleh struktur komposit yang isotropik. Penekanan merupakan salah satu cara untuk memadatkan serbuk menjadi bentuk tertentu yang sesuai dengan cetakannya (dies). Sintering merupakan teknik untuk memproduksi material dengan densitas yang terkontrol melalui aplikasi termal. Teknik sintering menawarkan kemudahan dalam desain kontrol mikrostruktural yaitu kontrol ukuran butir (grain size), densitas pasca sintering (sintered density), ukuran dan distribusi fase lain termasuk pori (pores). (Kang Suk – Joong., 2005). Sintering umumnya dilakukan pada temperatur konstan dengan waktu tahan (holding time) yang bervariasi untuk mendapatkan hasil tertentu.
Proses metalurgi serbuk merupakan proses fabrikasi yang sangat efektif dari segi biaya (cost effective). Metalurgi serbuk juga menawarkan efisiensi bahan baku yang sangat tinggi dengan komposisi matriks dan reinforced yang bervariasi.(Fogagnolo.J.B., 2004.). Gambar 2.1 menunjukkan efisiensi bahan baku dan efisiensi energi dari metode powder metallurgy dibandingkan metode manufaktur lainnya. Keunggulan lainnya adalah banyaknya variabel proses yang dapat dikontrol, sehingga kualitas produk akhir yang dihasilkan akan lebih akurat sesuai dengan yang diinginkan. Untuk itu, penggunaan metode powder metallurgy perlu menjadi pertimbangan mengingat aplikasinya terhadap dunia otomotif yang mensyaratkan standar keamanan yang tinggi. Gambar 2.2 menunjukkan persentase aplikasi powder metallurgy pada berbagai jenis.
Kelemahan dari metode ini adalah tidak bisa digunakan pada proses pembuatan benda – benda yang mempunyai dimensi relatif besar. Hal ini membuat motode metalurgi serbuk cocok untuk digunakan dalam pembuatan komponen otomotif dan suku cadang otomotif yang mempunyai dimensi relatif kecil. Misalnya pada automotive breaking system, gears, automotive pushrods, disc brake, planetary barier, chain sprockets.
Pada tahun 1980-an, industri transportasi mulai mengembangkan AMCs berpenguat discontinuous. Keunggulan AMCs ini adalah karakteristik mekaniknya yang isotropik dan biaya proses pembuatan dan bahan penguat discontinuous seperti SiC dan Al2O3 yang murah.
Pada Gambar 2.1 disajikan beberapa contoh produk AMCs dalam aplikasi industri transportasi : (a) Brake rotor pada kereta api kecepatan tinggi dari Jerman, ICE – 1 dan ICE – 2 yang dikembangkan oleh Knorr Bremse AG dan dibuat dari paduan alumunium berpenguat partikulat (AlSi7Mg + SiC partkulat). Dibandingkan dengan komponen konvensional yang terbuat dari besi tuang dengan berat 120 kg/komponen, produk AMCs ini jauh lebih ringan yaitu sebesar 76 kg/komponen. (b) braking system (disc, drum, dan caliper) dari New Lupo untuk Volkswagen yang dibuat dari paduan alumunium berpenguat partikulat. (c). Pushrod AMCs berpenguat serat continuous yang diproduksi oleh 3M untuk mesin balap. Pushrod – pushrod tersebut mempunyai berat 40% dari berat baja, selain itu juga lebih kuat dan kaku, serta mempunyai kemampuan meredam getaran yang lebih baik. (d) Kawat AMCs juga dikembangkan oleh 3M untuk core dari konduktor listrik. (Froyen,L., Verlinden,B., 1994).
MPIF (Metal Powder Industry Federation) melaporkan beberapa produk komponen otomotif terbaik di dunia yang dibuat dengan teknik powder metallurgy. (ASM Handbook, Vol 7). Salah satunya adalah auto transmission sprockets (Gambar 2.2) yang diproduksi oleh Stackpole Limited Automotive Gear Division yang berbahan dasar ferrous. Komponen – komponen tersebut mempunyai kekeuatan tarik sebesar 860 MPa (125 ksi), tegangan luluh 825 MPa (120 ksi), serta kekerasan permukaan lebih dari 60 HRC.
II.2 Sekam Padi Dan Silika
Sekam padi adalah bagian terluar dari butir padi yang merupakan hasil sampingan saat proses penggilingan padi dilakukan. Sekitar 20 – 35 persen dari bobot padi adalah sekam padi dan kurang lebih lima belas persen dari komposisi sekam padi adalah abu sekam. (Hara, 1986 dalam Harsono 2002). Tabel 2.1 menunjukkan analisis proksimasi kandungan komponen fisik sekam padi.
Harsono (2002), mensintesa silika dioksida (amorf) dari sekam padi melalui beberapa tahapan proses, yaitu pencucian, pengeringan, pengabuan, pengarangan, dan pengasaman. Kandungan SiO2 tertinggi diperoleh dengan pengeringan dengan sinar matahari selama 1 jam yaitu sebesar 89,46 persen, dibandingkan dengan pengeringan dalam oven (190 oC) selam 1 jam yang sebesar 83,15 persen. Persentase bobot yang hilang dari sekam padi setelah proses pembakaran adalah antara 78,78 – 80,2 persen.
Nilai paling umum kandungan silika dari abu sekam adalah 90 – 96 %. Silika yang terdapat dalam sekam memiliki struktur amorf terhidrat (Houston, 1972 dalam Harsono, 2002). Apabila pembakaran dilakukan pada suhu di atas 650 oC, kristalinitas SiO2 akan meningkat sehingga dapat terbentuk fase kristobalit dan tridimit (Hara,1986 dalam Harsono 2002).
Penelitian Hwang C. L. (2002) menunjukkan bahwa semakin tinggi temperatur pada proses pengarangan sekam dalam oven akan diperoleh kemurnian SiO2 yang makin tinggi. Temperatur optimal adalah 1.000 oC dengan kandungan silika maksimal 95,48 persen. Selain silika yang kandungannya dominan terdapat zat – zat lainnya yang terkandung dalam abu sekam yang dapat disebut sebagai zat pengotor (impurities). Apabila diurut dari kandungannya yang tertinggi, zat – zat tersebut yaitu : K2O, CaO, MgO, SO3, Na2O, dan Fe2O3. Komposisi kimia abu sekam setelah proses pemurnian pada perlakuan temperatur berbeda ditunjukkan oleh Tabel 2.2.
Silika (SiO2) dalam bentuk amorf memiliki densitas sebesar 2,21 gr/cm3 dengan modulus elastisitas sebesar 10 x 106 psi. Kandungan unsur silikon (Si) dan oksigen (O) pada silika jenis ini, adalah 46,7 persen dan 53,3 persen. Nilai kekerasan material ini pada pembebanan tegak lurus dengan menggunakan indentor intan (metode vickers atau knoop) adalah sebesar 710 kg/mm2 sedangkan pada arah pembebanan dengan sudut elevasi diketahui nilai kekerasannya adalah sebesar 790 kg/mm2. (Mantell, C. L., 1958). Gambar 2.3 Berikut adalah diagaram fase SiO2 polimorf.
II.3 Penelitian Tentang AMCs Berpenguat SiO2
Pada AMCs, pemanfaatan silika masih belum dikaji secara optimal karena selama ini diketahui memiliki reaktifitas yang tinggi terhadap alumunium. Kontak antara leburan alumunium dengan silika akan merusak struktur silika berdasarkan reaksi reduksi :
4Al + 3SiO2 → 2Al2O3 + 3Si
Bahkan, proses pencampuran kedua material tersebut pada temperatur 400 oC sudah dapat memicu terjadinya reaksi reduksi tersebut dimana terbentuk struktur material yang disebut co – continous microstructure AlSi/Al2O3 pada interface antara penguat dan matriks.
Gregolin E. N., (2002) melakukan penelitian tentang AMCs dengan memanfatkan SiO2 sebagai penguat. Proses pembuatannya dilakukan dengan metode powder metallurgy. Setelah proses mixing dilakukan, pada bahan dilakukan cold compaction sebesar 100 MPa kemudian disinter dengan temperatur sebesar 450 oC dan waktu tahan 4,5 jam. Hot extrusion dilakukan untuk mereduksi diameter penampang spesimen yang dihasilkan dari 100 mm menjadi 18 mm. Pada spesimen lalu dilakukan heat treatment pada temperatur 600 oC dengan variasi waktu tahan dan media pendingin air.
Dari analisa struktur mikro dengan menggunakan SEM diketahui terbentuk bentuk fase co – continuous pada permukaan partikel penguat seperti ditunjukkan pada Gambar 3. Daerah B meruapakan daerah dimana terjadi reaksi antara penguat dan matriks. Warna abu – abu gelap pada wilayah batas butir di wilayah B menunjukkan tigginya kandungan Si di wilayah tersebut.
Struktur co – continuous tersebut (wilayah B) akan makin dominan seiring penambahan temperatur dan waktu tahan pada proses pemanasan hingga reaksi berhenti pada saat seluruh penguat telah bertransformasi menjadi struktur co – continuous. Sebenarnya pembentukan struktur semacam ini, menawarkan pengembangan komposit in situ dimana penguatnya dibentuk dalam matriks melalui reaksi kimia antar elemen selama proses fabrikasi komposit. Dengan mengupayakan reaksi yang terjadi dapat diminimalkan dan terkontrol, maka dapat dihasilkan komposit dengan ikatan antar muka partikel yang lebih kuat sehingga memiliki kekuatan mekanik lebih baik.
Fase gelap menunjukkan fase logam sedangkan fase terang menunjukkan fase keramik. Berdasarkan Gambar 4, fase keramik yang terbentuk mempunyai ukuran lebar sekitar 0,25 µm dimana ukuran ini seragam (homogen) pada seluruh penguat. Padahal pada penelitian – penelitian yang lain diketahui fase keramik yang terbentuk pada penguat mempunyai ukuran yang bervariasi dari 0,2 – 0,5 µm. Perbedaan ini diakibatkan karena adanya kandungan Fe2O3 pada bahan penguat. Struktur yang seragam (homogen) seperti yang dihasilkan dalam penelitian ini tentunya meyebabkan komposit memiliki distribusi tegangan yang lebih baik.
III. METODE PENELITIAN
III.1 Prosedur Penelitian
Penelitian ini dimulai dari persiapan alat dan bahan. Lalu dilanjutkan dengan beberapa tahap poses pengerjaan yang meliputi ekstraksi silika dari sekam padi, pembuatan spesimen komposit dilanjutkan dengan pengujian struktur mikro dan mekanik. Adapaun rincian dari prosedur penelitian ini akan disajikan mulai dari sub bab III.1.1 sampai III.1.9.
III.1.1. Ekstraksi SiO2 Dari Sekam Padi
Sintesa silika dari sekam padi dilakukan secara bertahap yang meliputi pencucian, pengeringan, pengarangan, pengabuan, pemurnian dan identifikasi.
III.1.2. Penentuan Banyaknya Spesimen Yang Akan Dibuat
Fraksi volume penguat divariasikan sebesar 10, 25, dan 40 persen untuk masing- masing sampel abu sekam (A, B, dan C) sehingga dalam penelitian ini akan didapatkan spesimen sebanyak sembilan jenis. Replikasi dilakukan sebanyak tiga kali sehingga jumlah spesimen total adalah 27 spesimen. Adapun penentuan banyak sampel berdasarkan variabel perlakuannya seperti yang ditunjukkan pada Tabel 3.2 berikut.
III.1.3. Penentuan Dimensi Komposit Yang Akan Dibuat
Dari cetakan yang telah tersedia diketahui memiliki diameter rongga cetakan berbentuk silinder sebesar 14 mm. Dalam penelitian ini akan dibuat spesimen komposit yang memiliki ukuran diamater dan tinggi yang sama sehingga diketahui volume spesimen komposit yang akan dibuat adalah sebesar 2,154 cm3.
III.1.4. Penentuan Dan Penimbangan Massa Masing – Masing Konstituen
Penentuan massa masing – masing kontituen (matriks dan penguat) dalam struktur komposit dilakukan sesuai fraksi volume masing – masing. Densitas komponen (matriks dan penguat) yaitu untuk Al sebesar 2,7 gr/cm3 dan silika amorf sebesar 2,21 gr/cm3. Massa masing – masing komponen ditentukan berdasarkan perhitungan persentase komponen dikalikan dengan volume komposit dikalikan dengan massa jenis komponen.
Dimana m SiO2 adalah massa silika (gr), V SiO2 adalah fraksi volume silika yang besarnya divariasikan menjadi 10, 25, dan 40 persen, ρ SiO2 adalah densitas silika yaitu sebesar 2,21 gr/cm3, m Al adalah massa alumunium (gr), V Al adalah fraksi volume alumunium yang besarnya adalah 100% - , ρ Al adalah densitas alumunium (gr/cm3) yaitu sebesar 2,70 gr/cm3 dan Vc adalah volume komposit yang besarnya adalah 2,154 cm3. Hasil perhitungan massa masing komponen adalah seperti ditunjukkan oleh Tabel 3.3 berikut.
III.1.5. Pencampuran Material Matriks Dan Penguatnya (Mixing)
Proses pencampuran yang digunakan adalah metode wet mixing dengan menambahkan pelarut polar, yaitu metil alkohol. Pencampuran dilakukan dengan menggunakan hot plate magnetic stirrer dengan temperatur pemanasan 80oC. Dalam metode wet mixing ini pengadukan terus dilakukan hingga larutan media pencampur menguap seluruhnya. Indikasinya ditunjukkan dengan stirrer yang telah berhenti berputar karena tertahan oleh gumpalan matriks dan penguat yang telah tercampur. Stirrer kemudian diambil dari baker yang berisi gumpalan sedangkan gumpalan tersebut dikeringkan dengan furnace pada temperatur konstan sebesar 100 oC selama 30 menit.
III.1.6. Kompaksi
Kompaksi dilakukan dengan metode cold compaction dimana proses penekanan dilakukan pada temperatur kamar serta tipe penekanan singgle compaction dimana arah kompaksi hanya satu arah. Sebagai bahan lubricant digunakan zinc stearat yang dioleskan secara merata pada permukaan rongga cetakan (dies) dan penekan. Besar tekanan kompaksi yang diberikan yaitu sebesar 15 kN dan lama penekanan 15 menit.
III.1.7. Sintering
Sintering dilakukan dengan menggunakan vacuum furnace dengan tekanan ruang vakum sebesar 10-2 torr (10-2 mmHg). Besar temperatur sinter yang diberikan yaitu 600 oC dengan lama penahanan (holding time) 2 jam.
III.1.8. Pengujian Tekan dan SEM
Pengujian tekan dilakukan untuk mendapatkan karakteristik grafik tegangan dan regangan sehingga bisa diketahui karakteristik mekanik dari masing – masing spesimen seperti nilai modulus elastisitas dan kekutan tarik komposit. Pengujian kompresi dilakukan sesuai standar ASTM E9 – 89a, yang digunakan untuk mengetahui nilai modulus elastisitas komposit yang menunjukkan karakteristik mekaniknya. Pengamatan struktur mikro dengan menggunakan SEM untuk mengetahui karakteristik ikatan antar muka yang terbentuk.
III.1.9. Pengukuran Densitas Setelah Sinter dan Fraksi Porositas
Sebagai data pendukung perlu juga dilakukan pengukuran densitas komposit setelah sinter dan fraksi porositas. Untuk pengukuran densitas setelah sinter digunakan metode archimides. Volume komposit setelah sintering diukur dengan prinsip archimides. Pertama, tentukan besarnya massa benda setelah sinter (ms) dengan timbangan seperti pada Gambar 3.1.(a), lalu tentukan berat benda (Ws) dengan cara mengalikan massa benda setelah sinter (ms) dengan nilai percepatan gravitasi bumi (g) yang besarnya 9,8 m/s2.
Dengan menggunakan timbangan gantung tentukan apparent weight (Wap) atau berat benda saat dicelup pada fluida. Gaya apung Fby, atau disebut juga buoyant force ditentukan dengan persamaan Fby = Ws - Wap, dimana Fby adalah sama dengan berat fluida yang dipindahkan (Wf), sehingga massa fluida yang dipindahkan (mf) dapat ditentukan dari persamaan 3.1 berikut.
Maka volume fluida yang dipindahkan dapat ditentukan berdasarkan Persamaan 3.4 berikut.
Dimana fluida yang digunakan pada penelitian ini adalah butanol dengan massa jenis sebesar 0.809 gr/cm3. Volume fluida yang dipindahkan (Vf) sama dengan volume benda yang dimasukkan fluida (Vs). Sehingga densitas benda setelah sinter adalah:
Porositas setelah sintering dapat dihitung, dimana terlebih dahulu densitas komposit teoritik, ρt ditentukan. Teori ini berdasarkan pada formula rule of mixture seperti pada persamaan 3.7. Hasil perhitungan densitas teoritis untuk fraksi volume 10, 20, 30, dan 40 persen disajikan pada Tabel 3.4. Porositas setelah sinter, Ps, ditentukan berdasarkan persamaan 3.8.
III.2 Variabel Penelitian
Adapun variabel penelitian dalam kegiatan ini disajikan dalam Tabel 3.5 berikut.
III.3. Flow Chart Penelitian
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
Sintesa silika dari sekam padi dilakukan secara bertahap yang meliputi pencucian, pengeringan, pengarangan, pengabuan, pemurnian dan identifikasi. Tahap awal dari sintesa silika dari sekam padi ini adalah, pencucian dilakukan dengan air yang bertujuan untuk membersihkan sekam dari impuritas akibat kotoran. Penimbangan dilakukan untuk tiga sampel, sampel A, B dan C, dengan berat masing – masing 250 gram. Selanjutnya, adalah pengeringan dengan sinar matahari dilanjutkan pengeringan dengan pengarangan dan pengabuan dengan furnace pada temperatur berbeda-beda dari tiap-tiap sampelnya.
Setelah proses pengabuan dengan variasi temperatur yang berbeda, ternyata dari masing – masing sampel, kecuali dari sampel C, didapatkan dua jenis produk, yaitu abu sekam berwarna hitam dan putih. Abu sekam yang berwarna putih terpisah dengan produk abu sekam yang berwarna hitam, dimana terletak pada pemukaan lapisan teratas dari produk abu sekam secara keseluruhan. Adapun visualisasi dari fenomena ini dapat dilihat pada Gambar 4.1. Pada sampel C, tidak terbentuk abu sekam yang berwarna putih, namun hanya terbentuk abu sekam berwarna hitam.
Pada sampel A dan B dimana terbentuk abu sekam berwarna putih dan hitam, dilakukan pemisahan diantaranya. Lalu massa masing – masing jenis produk abu sekam ini ditimbang. Adapun hasil penimbangan abu sekam pada sampel A, B, dan C disajikan pada Tabel 4.2.
Tahap selanjutnya adalah pemurnian dengan metode pengasaman menggunakan HCl pekat. Sampel yang pertama dimurnikan yaitu sampel A yang meliputi jenis sampel A berupa abu sekam berwarna putih, dan abu sekam berwarna hitam.
Pada sampel A yang berwarna hitam, setelah dilakukan pemurnian tidak dihasilkan abu sekam yang berwarna putih seperti yang diharapkan dimana seharusnya tampilan warna fisik silika berwarna putih. Hal ini dikarenakan pada sampel abu sekam A yang berwarna hitam kandungan unsur karbonnya sangat dominan yang menyebabkannya berwarna hitam dimana setelah ekstraksi pun unsur karbon ini tidak dapat dipisahkan dengan silika. Maka dapat dikatakan bahwa pada sampel abu sekam yang berwarna putihlah kandungan silikanya yang paling banyak.
Untuk itu, pada pemurnian sampel B cukup dilakukan pada abu sekam yang berwarna putih saja. Sedangkan pada sampel C, karena tidak terdapat abu sekam berwarna putih maka proses ekstraksi dilakukan pada sampel C secara keseluruhan yang berwarna hitam.Setelah Proses pemurnian dilakukan terhadap sampel A, B, dan C maka didapatkan sampel hasil pemurnian seperti ditunjukkan pada Gambar 4.2.
IV.1 Karakteristik Silika Yang Dihasilkan
Dalam penelitian ini, karakteristik silika yang akan dikaji meliputi karakteristik kualitas dan kuantitas silika yang dihasilkan dari variabel perlakuan temperatur pengabuan yang diberuikan pada sekam.
IV.1.1 Analisa Kualitatif
Sampel A, B, dan C ini diuji XRD untuk mengetahui apakah telah terbentuk silika. Hasil uji XRD disajikan pada Gambar 4.3. Dari Gambar 4.3 tersebut diketahui bahwa bentuk grafik dari masing – masing sampel menunjukkan kemiripan dalam hal nilai 2θ dimana terbentuk puncak – puncak difraksi serta terbentuknya fase amorf yang dapat dilihat dari terbentuknya noise pada grafik yang dihasilkan. Hal ini diakibatkan, sinar – X yang ditembakkan oleh alat XRD tidak mampu didifraksikan secara sempurna oleh struktur kristal yang amorf sehingga sudut difraksi sinar – X yang dibaca oleh alat menjadi tidak beraturan akibat terjadinya penghamburan.
Walaupun sama – sama terbentuk fase amorf, namun pada masing – masing sampel sebenarnya terdapat perbedaan karakteristik puncak tertinggi yang dihasilkan. Pada nilai 2θ sekitar 26, terlihat perbedaan nilai intensitas puncak tertinggi masing – masing sampel dimana akan kita dapatkan bahwa puncak terendah terjadi pada Sampel A dan tertinggi pada Sampel C. Selain itu dapat juga kita amati bahwa pada masing – masing sampel terdapat perbedaan bentuk puncak tertinggi yang terbentuk. Untuk sampel A puncak tertingginya adalah yang paling landai dibandingkan yang lainnya, sedangkan untuk sampel C adalah yang puncak tertingginya paling lancip. Dari sini dapat dikatakan bahwa dengan menaikkan temperatur pengabuan, maka akan semakin ada kecenderungan silika amorf bertransformasi menjadi fase kristalin dimana dari hasil pengujian XRD dapat ditunjukkan dengan semakin terbentuknya puncak yang semakin lancip dan semakin besar intensitasnya.
Hasil penelitian ini, khususnya pada Sampel A yang dikenakan temperatur pengabuan sebesar 600 oC sama dengan hasil percobaan yang dilakukan oleh Harsono (2002) dimana sama – sama didapatkan SiO2 dalam fasa amorf. Namun, pada sampel B dan C dengan temperatur pemanasan hingga 750oC dan 900oC perlu diteliti lebih lanjut seberapa banyakkah fase kristalin yang terbentuk dari variabel perlakuan temperatur pemanasan tersebut. Hal ini dikarenakan dari hasil pengujian XRD diketahui pada Sampel B dan C semakin cenderung membentuk fase kristalin dimana ditunjukkan dengan puncak grafik yang semakin lancip dan semakin tinggi intensitasnya. Hal ini sesuai dengan teori Hara (1986) dalam Harsono (2002) yang menyebutkan bahwa untuk mendapatkan fasa kristalin maka harus dilakukan pemanasan pada suhu di atas 650oC agar kristalinitas SiO2 meningkat sehingga dapat terbentuk fase kristobalit dan tridimit.
V.1.2 Analisa Kuantitatif
Pada analisa kuantitatif silika dalam abu sekan digunakan analisa gravimetri untuk mengetahui berapa persentase kandungan SiO2 dalam abu sekam yang dihasilkan, dimana hasil pengujian disajikan pada Tabel 4.5. Dari hasil pengujian gravimetri diketahui bahwa kandungan silika tertinggi terbentuk pada Sampel B yaitu pada temperatur pengabuan sebesar 750oC. Hasil ini ternyata di luar dari prediksi yang diharapkan, dimana berdasarkan Hwang, C. L., (2002) seharusnya pada temperatur pemanasan sekam yang semakin tinggi akan dapat dihasilkan kandungan silika yang semakin tinggi pula.
Penjelasan mengenai hal ini dapat dijelaskan apabila dihubungkan dengan diagram fasa SiO2 seperti yang ditunjukkan pada gambar 2.3. Ketika pemanasan dilakukan pada tekanan atmosfer yaitu sebesar 1 bar, maka saat temperatur pemanasan mencapai 900oC, temperatur ini telah mencapai temperatur perubahan fase dari quartz (high) menjadi SiO2 tridymite. Pada proses perubahan fasa kristal ini waktu tahan yang diberikan kurang memadai untuk terbentuknya SiO2 tridymite kristalin secara menyeluruh. Hal ini berakibat pada SiO2 amorf yang sudah memutuskan ikatan terhidratnya namun belum sempat menyusun atom – atomnya secara teratur untuk membentuk SiO2 kristalin akan membentuk SiO2 amorf dan sejumlah unsur silikon bebas yang bereaksi dengan zat pengotor atau lingkungan. Unsur silikon bebas inilah yang kemudian hilang selama proses karena bereaksi dengan zat pengotor yang kemudian mengakibatkan persentase silika total (amorf dan kristalin) pada Sampel C lebih rendah dibandingkan Sampel B.
IV.2 Karakteristik Ikatan Antar Muka Partikel Alumunium Dan Silika
Pengujian struktur mikro dengan SEM sedang dalam proses pengerjaan saat laporan ini dibuat. Tempat pengujian yaitu di Laboraturium Geologi Kuarter, Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, Jl. Dr. Junjunan 236 Bandung 40174. Dalam laporan ini penulis menampilkan foto SEM dari spesimen yang diuji yaitu spesimen dengan varibel temperatur pengabuan sekam sebesar 600oC, 750oC, dan 900oC pada fraksi volume penguat silika untuk masing – masing spesimen tersebut yakni sebesar 10 persen.
Dari foto SEM, dapat dilihat bahwa anatara partikel alumunium dan alumina terbentuk ikatan yang secara visual dapat dilihat pada gambar. Namun, hal ini perlu penelusuran lebih lanjut untuk mengetahui apakah struktur co-continuous AlSi/Al2O3 terbentuk.
V.3 Karakteristik Mekanik Komposit
Dari hasil pengujian tekan diketahui karakteristik keuatan tekan dari masing – masing spesimen seperti yang disajikan pada Gambar 4.2 Dari gambar tersebut dapat diketahui bahwa pada sampel dengan variabel temperatur pengabuan sekam sebesar 900oC memiliki karakteristik kekuatan tekan yang berbeda dengan sampel lainnya, khususnya untuk fraksi volume silika lebih besar dari 25 persen. Fenomena ini diakibatkan karena pada sampel tersebut mempunyai fraksi porositas yang rendah dimana karakteristik fraksi porositas dapat dilihat pada Gambar 4.6. Sedangkan dari karakteristik densitas komposit pada Gambar 4.3 dikeatahui bahwa untuk spesimen dengan variabel temperatur pengabuan sekam sebesar 900oC memberikan nilai densitas yang cenderung meningkat untuk fraksi volume penguat lebih besar dari 25 persen dibandingkan dengan spesimen pada variabel lainnya dimana memiliki tren karakteristik nilai densitas yang cenderung menurun. Ini berarti pada spesimen tersebut terjadi peningkatan berat.
Penjelasan dari fenomena naiknya nilai kekuatan tarik pada spesimen dengan temperatur pengabuan sekam sebesar 900oC adalah semakin rendah fraksi porositas yang terjadi akan semakin sedikit daerah yang menjdi konsentrasi tegangan ketika spesimen dikenakan beban mekanik. Karena jumlah konsentrasi tegangan yang sedikit, maka semakin sulit gejala – gejala failure (patah) dari suatu material memulai prosesnya, sehingga material yang seperti ini akan lebih kuat menerima beban mekanik dibandingkan denganmaterial yang mempunyai banyak daerah konsentrasi regangan, dimana dalam hal ini daerah tersebut dapat dikatakan sebagai produk cacat dari suatu proses pembuatan material.
Porositas merupakan salah satu bentuk cacat yang sering dijumpai pada produk – produk hasil pengecoran dan proses powder metallurgy. Dalam hubungannya dengan proses powder metallurgy, keberadaan cacat sulit untuk dipisahkan selama proses powder metallurgy yang digunakan yaitu proses manual.
Beberapa cara dapat dilakukan untuk mengurangi fraksi porositas pada produk powder metallurgy. Salah satu caranya adalah dengan mereduksi ukuran partikel serbuk yang akan dikompaksi seminimal mungkin. Dengan mereduksi ukuran partikel berarti memberikan sedikit kesempatan bagi partikel – partikel serbuk untuk membentuk rongga yang terbentuk antar permukaan partikel yang diakibatkan bentuk partikel yang kasar dan cukup besar sehingga cukup memberi ruang kosong. Walaupun rongga ini seharusnya hilang ketika proses pemadatan dilakukan, namun seringkali masih belum mampu menghilangkan secara keseluruhan keberadaan rongga tersebut terutama yang terletak di bagian dalam – tengah spesimen karena udara yang terjebak dan sulit keluar. Saat proses sinter dilakukan rongga ini seharusnya akan semakin berkurang lagi, namun karena letak porous terlalu jauh dari permukaan spesmen sehingga mengakibatkan udara terjebak di dalam spesimen saat setelah sinter.
Dalam penelitian ini, walaupun telah dilakukan upaya untuk mereduksi ukuran partikel dengan menggunakan mortar, hingga ketika diayak partikel lolos ayakan dengan kerapatan ayakan sebesar 200 mesh, namun kenyataanya porositas yang terjadi masih tetap ada dimana kisarannya dalah 1 – 8 persen dari volume komposit.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
VI.1 Kesimpulan
Berdasarkan data penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan dapat dibuat beberapa kesimpulan dari penelitian ini yaitu sebagai berikut.
Adapun saran yang dapat disampaikan hasil penelitian ini disajikan sebagai berikut.
TIM PENELITI
I. PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang Masalah
Dewasa ini, perkembangan teknologi komposit, khususnya metal matrix composite (MMCs) semakin maju seiring dengan perkembangan teknologi industri otomotif. Penggunaan baja sebagai bahan suku cadang dan komponen otomotif mulai digantikan dengan bahan komposit dimana memiliki sifat mekanik dan ketahanan korosi yang lebih baik. Metalurgi serbuk (powder metallurgy) merupakan salah satu metode pembuatan MMCs yang paling banyak digunakan dalam pembuatan komponen industri otomotif karena menawarkan efisiensi bahan baku dan energi yang lebih baik dibandingkan dengan metode produksi lainnya.
Penerapan teknologi MMCs dalam industri otomotif di Indonesia, khususnya yang berbasis powder metallurgy masih belum optimal. Hal ini dapat dilihat dari jumlah produksi komponen otomotif dalam negeri yang masih rendah, yaitu sebesar 200 produk dibandingkan dengan Thailand yang sudah memiliki 1.500 produk industri komponen. Padahal, kebutuhan komponen otomotif dalam negeri, baik untuk kendaraan baru maupun untuk spare parts cukup besar karena menurut data statistik tahun 2006, jumlah populasi kendaraan bermotor roda empat di tanah air adalah 9.461.984 unit, sedangkan untuk kendaraan bermotor roda dua adalah 23.312.945 unit. (http://www.bppt.go.id/).
Kekayaan SDA nasional sebenarnya menawarkan potensi pengadaan material – material yang dapat dimanfaatkan dalam proses pembuatan MMCs untuk mendukung kemajuan industri otomotif dalam negeri. Salah satunya adalah sekam padi dimana berdasarkan penelitian, (Houston, 1972; Hara,1986; Shofiatun, 2000 dalam Harsono, 2002), diketahui banyak mengandung bahan keramik silika (SiO2). Harga sekam padi di pasaran cukup murah, dan ketersediannya di alam juga melimpah. Di wilayah Jawa Timur saja, potensi sekam padi yang dapat dihasilkan dapat mencapai 3,2 juta ton tiap tahunnya.
Akan tetapi, dari jumlah ini hanya sebagian kecil saja yang dimanfaatkan. Selama ini, sekam padi sering hanya digunakan sebagai bahan pembakar bata merah atau dibuang begitu saja. (Pakpahan, 2006). Padahal bahan SiO2 yang terkandung dalam sekam padi dapat dimanfaatkan sebagai bahan penguat pada MMCs.
Proses ekstraksi silika dilakukan terhadap abu sekam padi yang merupakan hasil proses pembakaran sekam padi. Terdapat beberapa metode pemurnian silika dari sekam padi mulai dari yang mahal hingga yang murah dan sederhana. (Harsono, 2002; Mittal, D., 1997). Harsono (2002) melakukan ekstraksi silika dari sekam padi melalui beberapa tahapan proses. Proses tersebut meliputi pengeringan, pengabuan, pengarangan, pengasaman, dan identifikasi unsur.
Silika (SiO2) memimilki kekerasan, sifat tahan aus, ketahanan termal dan kekakuan yang tinggi. Apabila material ini digunakan sebagai penguat dan dipadukan dengan aluminium sebagai matriks maka akan dapat dihasilkan komposit yang memiliki kekuatan serta ketahanan korosi tinggi, ringan serta machinability yang baik. Jenis MMCs yang bermatriks alumunium seperti ini disebut AMCs (Alumunium Matrix Composite). Aplikasi AMCs pada komponen otomotif diantaranya pada cylinder liner, disc brake, drum brake, dan engine piston. (Schumacher.C., 1991).
Penelitian terhadap AMCs berpenguat SiO2 pernah dilakukan sebelumnya oleh Gregolin (2002). Bahan SiO2 yang digunakan merupakan bahan non sintetik yang diambil dari endapan mineral yang terdapat di pegunungan Brazil yang disebut spongilites. Komponen yang terkandung pada mineral ini adalah silika (> 90 %), Al2O3 (< 0,5 %), dan Fe2O3 (dapat mencapai hingga 1 persen) serta mempunyai struktur kristal campuran amorf dan kristalin. Selama proses heat treatment pada suhu 600 oC diketahui terbentuk struktur co – continuous AlSi/Al2O3 pada interface dimana mampu menambah kekuatan ikatan antar muka antara partikel matriks dan penguat pada komposit.
Pada kegiatan ini akan diteliti pengaruh besar temperatur pengabuan sekam padi terhadap kandungan SiO2 dan fasa – fasa lain yang dihasilkan. Temperatur pengabuan divariasikan pada tempertur 600, 750, dan 900 oC. Dari variasi temperatur pengabuan ini dikatahui juga akan berpengaruh terhadap karakteristik kristal SiO2 yang terbentuk dimana kemudian akan ditinjau pengaruhnya terhadap karakteristik ikatan antar muka yang terbentuk pada partikel komposit. Fraksi volume penguat SiO2 divariasikan menjadi 10, 25, dan 40 persen. Sifat mekanik komposit perlu juga diukur untuk mengetahui apakah komposit Al/SiO2 ini layak untuk diaplikasikan sebagai bahan komponen otomotif.
I.2 Perumusan Masalah
Permasalahan yang diangkat pada program ini dirumuskan sebagai berikut:
- Bagaimana pengaruh temperatur pengabuan yang diberikan kepada sekam padi terhadap kuantitas silika serta karakteristik struktur kristal yang dihasilkan.
- Bagaimanakah pengaruh karakteristik SiO2 yang dihasilkan tersebut terhadap karakteristik ikatan antar muka yang terbentuk pada komposit.
- Bagaimana pengaruh karakteristik SiO2 yang dihasilkan terhadap kekuatan mekanik komposit.
I.3 Tujuan Program
Adapun tujuan dari pelaksanaan kegiatan penelitian ini adalah sebagai berikut.
- Mengkaji pengaruh temperatur pengabuan yang diberikan kepada sekam padi terhadap kuantitas silika serta karakteristik struktur kristal yang dihasilkan.
- Untuk mengetahui pengaruh karakteristik SiO2 yang dihasilkan tersebut terhadap karakteristik ikatan antar muka yang terbentuk pada komposit.
- Untuk mengetahui pengaruh karakteristik SiO2 yang dihasilkan terhadap kekuatan mekanik komposit.
I.4 Luaran yang Diharapkan
Luaran yang diharapkan dari program ini adalah diperoleh suatu teknik rekayasa material baru yang berbasis metal matrix composites melalui metode powder metallurgy dengan memanfaatkan bahan – bahan SDA nasional. Seperti diketahui Indonesia memiliki kekayaan bahan tambang seperti bijih bauskit yang merupakan bahan baku alumunium serta kuantitas sekam padi yang cukup besar namun belum dimanfaatkan secara optimal. Hal ini mendorong adanya penelitian – penelitian untuk meningkatkan efektifitas dan efisiensi keberadaan bahan – bahan tersebut melalui pengembangan teknologi rekayasa material yang murah dan sederhana seperti yang akan dilakukan dalam penelitian ini. Besar harapan agar dari teknologi tersebut nantinya bangsa Indonesia mampu memproduksi bahan komponen dan suku cadang otomotif secara mandiri.
I.5 Kegunaan Program
Kegunaan dan manfaat dari program penelitian ini diantaranya adalah sebagai berikut:
- Memberikan solusi upaya peningkatan nilai fungsi serta nilai jual sekam padi yang selama ini kurang mampu dimanfaatkan secara maksimal sehingga diharapkan nantinya dapat meningkatkan taraf hidup petani.
- Memberikan bahan masukan dalam upaya pengembangan industri otomotif dalam negeri yang bertujuan meningkatkan kemampuan memproduksi komponen otomotif dan suku cadang secara mandiri.
- Dapat dijadikan referensi atau acuan pembuatan komposit bermatriks alumunium (Al) dengan penguat silika (SiO2) yang dapat diaplikasikan dalam bidang otomotif dengan metode metalurgi serbuk misalnya pada pembuatan automotive breaking system, gears, automotive pushrods, disc brake, planetary barier, chain sprockets.
- Dapat digunakan sebagai bahan referensi pada penelitian – penelitian selanjutnya yang sejenis.
II. TINJAUAN PUSTAKA
Komposit adalah gabungan dari dua material atau lebih yang berbeda secara makroskopis, dimana sifat yang dihasilkan merupakan perpaduan sifat dari elemen penyusunnya. Material pembentuk komposit ada dua yaitu matriks dan penguat (reinforcement). Matriks merupakan bahan yang berperan sebagai penyangga dan pengikat bahan penguat. Matriks memiliki karakteristik lunak, ulet, berat per satuan volume yang rendah serta modulus elastisitas yang lebih rendah dari penguatnya. Antara partikel matriks dan penguat harus memiliki kemampuan mengikat dan atau memberikan ikatan antar muka (interface bonding) yang kuat satu sama lain. (Jones, R. M., 1975)
Metal Matrix Composites (MMCs) merupakan salah satu jenis komposit dimana matriks yang digunakan adalah dari bahan logam. MMCs tergolong ke dalam komposit partikulat dimana termasuk komposit isotropik karena partikel penguatnya tersebar merata pada matriks, sehingga distribusi penguatannya sama ke segala arah. Komposit partikulat pada umumnya keuletan (ductililty) dan ketangguhannya (failure thoughness) menurun dengan semakin tinggi fraksi volume penguatnya. (Froyen dan Verlinden, 1994).
Pada komposit partikulat, nilai modulus elastisitasnya secara teoritis dapat dihitung dengan menggunakan persamaan Halpin-Tsai (Cawla, 1987), yaitu:
Salah satu contoh dari MMCs yang paling banyak penggunaannya adalah AMCs dimana bahan logam alumunium bertindak sebagai matriks. Pemanfaatan AMCs dalam industri otomotif memiliki beberapa alasan yaitu untuk meningkatkan temperatur operasi mesin, memperbaiki properti (tahan aus), meningkatkan kekakuan dan kekuatan, serta mereduksi berat bagian mesin. (Schumacher.C., 1991).
II.1 Metode Pembuatan MMCs
MMCs dapat dibuat dengan menggunakan metode peleburan atau dengan metalurgi serbuk (powder metallurgy). Metode peleburan dilakukan dengan memasukkan komponen penguat yang memiliki titik leleh lebih tinggi ke dalam komponen matriks yang dilelehkan. Pencampuran ini disertai dengan pengadukan untuk diperoleh penguat yang tersebar lebih merata pada matriks kemudian dituang atau dicetak ke dalam cetakan.
Sedangkan pada metode metalurgi serbuk terdapat beberapa tahapan proses yang meliputi pencampuran, penekanan dan sintering. (Hirschhorn, J. S., 1976). Pencampuran adalah penggabungan dua bahan serbuk atau lebih dengan komposisi tertentu untuk memperoleh struktur komposit yang isotropik. Penekanan merupakan salah satu cara untuk memadatkan serbuk menjadi bentuk tertentu yang sesuai dengan cetakannya (dies). Sintering merupakan teknik untuk memproduksi material dengan densitas yang terkontrol melalui aplikasi termal. Teknik sintering menawarkan kemudahan dalam desain kontrol mikrostruktural yaitu kontrol ukuran butir (grain size), densitas pasca sintering (sintered density), ukuran dan distribusi fase lain termasuk pori (pores). (Kang Suk – Joong., 2005). Sintering umumnya dilakukan pada temperatur konstan dengan waktu tahan (holding time) yang bervariasi untuk mendapatkan hasil tertentu.
Proses metalurgi serbuk merupakan proses fabrikasi yang sangat efektif dari segi biaya (cost effective). Metalurgi serbuk juga menawarkan efisiensi bahan baku yang sangat tinggi dengan komposisi matriks dan reinforced yang bervariasi.(Fogagnolo.J.B., 2004.). Gambar 2.1 menunjukkan efisiensi bahan baku dan efisiensi energi dari metode powder metallurgy dibandingkan metode manufaktur lainnya. Keunggulan lainnya adalah banyaknya variabel proses yang dapat dikontrol, sehingga kualitas produk akhir yang dihasilkan akan lebih akurat sesuai dengan yang diinginkan. Untuk itu, penggunaan metode powder metallurgy perlu menjadi pertimbangan mengingat aplikasinya terhadap dunia otomotif yang mensyaratkan standar keamanan yang tinggi. Gambar 2.2 menunjukkan persentase aplikasi powder metallurgy pada berbagai jenis.
Kelemahan dari metode ini adalah tidak bisa digunakan pada proses pembuatan benda – benda yang mempunyai dimensi relatif besar. Hal ini membuat motode metalurgi serbuk cocok untuk digunakan dalam pembuatan komponen otomotif dan suku cadang otomotif yang mempunyai dimensi relatif kecil. Misalnya pada automotive breaking system, gears, automotive pushrods, disc brake, planetary barier, chain sprockets.
Pada tahun 1980-an, industri transportasi mulai mengembangkan AMCs berpenguat discontinuous. Keunggulan AMCs ini adalah karakteristik mekaniknya yang isotropik dan biaya proses pembuatan dan bahan penguat discontinuous seperti SiC dan Al2O3 yang murah.
Pada Gambar 2.1 disajikan beberapa contoh produk AMCs dalam aplikasi industri transportasi : (a) Brake rotor pada kereta api kecepatan tinggi dari Jerman, ICE – 1 dan ICE – 2 yang dikembangkan oleh Knorr Bremse AG dan dibuat dari paduan alumunium berpenguat partikulat (AlSi7Mg + SiC partkulat). Dibandingkan dengan komponen konvensional yang terbuat dari besi tuang dengan berat 120 kg/komponen, produk AMCs ini jauh lebih ringan yaitu sebesar 76 kg/komponen. (b) braking system (disc, drum, dan caliper) dari New Lupo untuk Volkswagen yang dibuat dari paduan alumunium berpenguat partikulat. (c). Pushrod AMCs berpenguat serat continuous yang diproduksi oleh 3M untuk mesin balap. Pushrod – pushrod tersebut mempunyai berat 40% dari berat baja, selain itu juga lebih kuat dan kaku, serta mempunyai kemampuan meredam getaran yang lebih baik. (d) Kawat AMCs juga dikembangkan oleh 3M untuk core dari konduktor listrik. (Froyen,L., Verlinden,B., 1994).
MPIF (Metal Powder Industry Federation) melaporkan beberapa produk komponen otomotif terbaik di dunia yang dibuat dengan teknik powder metallurgy. (ASM Handbook, Vol 7). Salah satunya adalah auto transmission sprockets (Gambar 2.2) yang diproduksi oleh Stackpole Limited Automotive Gear Division yang berbahan dasar ferrous. Komponen – komponen tersebut mempunyai kekeuatan tarik sebesar 860 MPa (125 ksi), tegangan luluh 825 MPa (120 ksi), serta kekerasan permukaan lebih dari 60 HRC.
II.2 Sekam Padi Dan Silika
Sekam padi adalah bagian terluar dari butir padi yang merupakan hasil sampingan saat proses penggilingan padi dilakukan. Sekitar 20 – 35 persen dari bobot padi adalah sekam padi dan kurang lebih lima belas persen dari komposisi sekam padi adalah abu sekam. (Hara, 1986 dalam Harsono 2002). Tabel 2.1 menunjukkan analisis proksimasi kandungan komponen fisik sekam padi.
Harsono (2002), mensintesa silika dioksida (amorf) dari sekam padi melalui beberapa tahapan proses, yaitu pencucian, pengeringan, pengabuan, pengarangan, dan pengasaman. Kandungan SiO2 tertinggi diperoleh dengan pengeringan dengan sinar matahari selama 1 jam yaitu sebesar 89,46 persen, dibandingkan dengan pengeringan dalam oven (190 oC) selam 1 jam yang sebesar 83,15 persen. Persentase bobot yang hilang dari sekam padi setelah proses pembakaran adalah antara 78,78 – 80,2 persen.
Nilai paling umum kandungan silika dari abu sekam adalah 90 – 96 %. Silika yang terdapat dalam sekam memiliki struktur amorf terhidrat (Houston, 1972 dalam Harsono, 2002). Apabila pembakaran dilakukan pada suhu di atas 650 oC, kristalinitas SiO2 akan meningkat sehingga dapat terbentuk fase kristobalit dan tridimit (Hara,1986 dalam Harsono 2002).
Penelitian Hwang C. L. (2002) menunjukkan bahwa semakin tinggi temperatur pada proses pengarangan sekam dalam oven akan diperoleh kemurnian SiO2 yang makin tinggi. Temperatur optimal adalah 1.000 oC dengan kandungan silika maksimal 95,48 persen. Selain silika yang kandungannya dominan terdapat zat – zat lainnya yang terkandung dalam abu sekam yang dapat disebut sebagai zat pengotor (impurities). Apabila diurut dari kandungannya yang tertinggi, zat – zat tersebut yaitu : K2O, CaO, MgO, SO3, Na2O, dan Fe2O3. Komposisi kimia abu sekam setelah proses pemurnian pada perlakuan temperatur berbeda ditunjukkan oleh Tabel 2.2.
Silika (SiO2) dalam bentuk amorf memiliki densitas sebesar 2,21 gr/cm3 dengan modulus elastisitas sebesar 10 x 106 psi. Kandungan unsur silikon (Si) dan oksigen (O) pada silika jenis ini, adalah 46,7 persen dan 53,3 persen. Nilai kekerasan material ini pada pembebanan tegak lurus dengan menggunakan indentor intan (metode vickers atau knoop) adalah sebesar 710 kg/mm2 sedangkan pada arah pembebanan dengan sudut elevasi diketahui nilai kekerasannya adalah sebesar 790 kg/mm2. (Mantell, C. L., 1958). Gambar 2.3 Berikut adalah diagaram fase SiO2 polimorf.
II.3 Penelitian Tentang AMCs Berpenguat SiO2
Pada AMCs, pemanfaatan silika masih belum dikaji secara optimal karena selama ini diketahui memiliki reaktifitas yang tinggi terhadap alumunium. Kontak antara leburan alumunium dengan silika akan merusak struktur silika berdasarkan reaksi reduksi :
4Al + 3SiO2 → 2Al2O3 + 3Si
Bahkan, proses pencampuran kedua material tersebut pada temperatur 400 oC sudah dapat memicu terjadinya reaksi reduksi tersebut dimana terbentuk struktur material yang disebut co – continous microstructure AlSi/Al2O3 pada interface antara penguat dan matriks.
Gregolin E. N., (2002) melakukan penelitian tentang AMCs dengan memanfatkan SiO2 sebagai penguat. Proses pembuatannya dilakukan dengan metode powder metallurgy. Setelah proses mixing dilakukan, pada bahan dilakukan cold compaction sebesar 100 MPa kemudian disinter dengan temperatur sebesar 450 oC dan waktu tahan 4,5 jam. Hot extrusion dilakukan untuk mereduksi diameter penampang spesimen yang dihasilkan dari 100 mm menjadi 18 mm. Pada spesimen lalu dilakukan heat treatment pada temperatur 600 oC dengan variasi waktu tahan dan media pendingin air.
Dari analisa struktur mikro dengan menggunakan SEM diketahui terbentuk bentuk fase co – continuous pada permukaan partikel penguat seperti ditunjukkan pada Gambar 3. Daerah B meruapakan daerah dimana terjadi reaksi antara penguat dan matriks. Warna abu – abu gelap pada wilayah batas butir di wilayah B menunjukkan tigginya kandungan Si di wilayah tersebut.
Struktur co – continuous tersebut (wilayah B) akan makin dominan seiring penambahan temperatur dan waktu tahan pada proses pemanasan hingga reaksi berhenti pada saat seluruh penguat telah bertransformasi menjadi struktur co – continuous. Sebenarnya pembentukan struktur semacam ini, menawarkan pengembangan komposit in situ dimana penguatnya dibentuk dalam matriks melalui reaksi kimia antar elemen selama proses fabrikasi komposit. Dengan mengupayakan reaksi yang terjadi dapat diminimalkan dan terkontrol, maka dapat dihasilkan komposit dengan ikatan antar muka partikel yang lebih kuat sehingga memiliki kekuatan mekanik lebih baik.
Fase gelap menunjukkan fase logam sedangkan fase terang menunjukkan fase keramik. Berdasarkan Gambar 4, fase keramik yang terbentuk mempunyai ukuran lebar sekitar 0,25 µm dimana ukuran ini seragam (homogen) pada seluruh penguat. Padahal pada penelitian – penelitian yang lain diketahui fase keramik yang terbentuk pada penguat mempunyai ukuran yang bervariasi dari 0,2 – 0,5 µm. Perbedaan ini diakibatkan karena adanya kandungan Fe2O3 pada bahan penguat. Struktur yang seragam (homogen) seperti yang dihasilkan dalam penelitian ini tentunya meyebabkan komposit memiliki distribusi tegangan yang lebih baik.
III. METODE PENELITIAN
III.1 Prosedur Penelitian
Penelitian ini dimulai dari persiapan alat dan bahan. Lalu dilanjutkan dengan beberapa tahap poses pengerjaan yang meliputi ekstraksi silika dari sekam padi, pembuatan spesimen komposit dilanjutkan dengan pengujian struktur mikro dan mekanik. Adapaun rincian dari prosedur penelitian ini akan disajikan mulai dari sub bab III.1.1 sampai III.1.9.
III.1.1. Ekstraksi SiO2 Dari Sekam Padi
Sintesa silika dari sekam padi dilakukan secara bertahap yang meliputi pencucian, pengeringan, pengarangan, pengabuan, pemurnian dan identifikasi.
- Pencucian, dilakukann dengan air yang bertujuan untuk membersihkan sekam dari impuritas akibat kotoran.
- Pengeringan, dilakukan di bawah sinar matahari
- Penimbangan, dilakukan untuk membagi sampel sekam padi menjadi dua bagian sama besar yaitu sampel A, B dan C dimana harus memenuhi berat sekam padi yang akan diproses yaitu masing – masing dengan berat 250 gram. Dengan asumsi persentase berat sekam yang hilang selama proses sebesar 80 persen, maka nantinya akan didapatkan abu sekam dari masing – masing sampel sebanyak 50 gram.
- Pengarangan dan Pengabuan, merupakan tahap selanjutnya yang dilakukan dimana masing – masing sampel dikenai variabel temperatur pengabuan seperti disajikan pada Tabel 3.1 berikut.
- Pemurnian, dilakukan setelah didapatkan abu sekam untuk memisahkan zat – zat pengotor dari abu sekam. Metode yang dipakai untuk pemurnian ini adalah metode pengasaman yaitu dengan menggunakan larutan HCl pekat. Proses pemurnian dibawah kondisi asam dimaksudkan untuk menghilangkan oksida – oksida logam dan non logam dari dalam abu sekam karena asam klorida yang diberikan akan mengikat oksida logam yaitu P2O5, K2O, MgO, Na2O,CaO dan Fe2O3 menjadi kloridanya dan oksida non logam kecuali silika diubah menjadi asamnya. Proses pemurniannya dilakukan dengan cara memasukkan sampel berupa abu sekam ke dalam gelas piala dan dibasahi dengan akuades panas, lalu pada campuran ditambahkan 200 ml HCl pekat dan diuapkan sampai kering. Pengerjaan ini diulangi tiga kali. Selanjutnya dituangkan 625 ml akuades dan 40 ml HCl pekat ke gelas piala tadi dan dibiarkan di atas penangas air selama 15 menit. Campuran tersebut kemudian disaring dengan kertas saring bebas abu dan dicuci lima kali dengan akuades panas. Hasil dari penyaringan berupa residu padat beserta kertas saringnya dipanaskan mula-mula pada suhu 300 oC selama 1 jam hingga kertas saring menjadi arang. Kemudian dilanjutkan dengan memanaskan pada suhu 600 oC selama 2 jam hingga yang tersisa hanya endapan Silika (SiO2) berwarna putih.
- Pengujian XRD dan Gravimetri, ditujukan untuk identifikasi apakah fase SiO2 telah terbentuk dan jenis SiO2 apa yang terbentuk, kristalin atau amorf, serta zat pngotor apa yang terkandung. Selain itu juga dilakukan perhitungan kuantitas kandungan SiO2 dalam abu sekam tersebut dengan menggunakan analisa gravimetri.
- Penggerusan dan Pengayakan, dilakukan pada endapan silika pada sampel A, B dan C dimana masing – masing dihaluskan secara mekanik dengan menggunakan mortar lalu diayak hingga didapatkan partikel SiO2 dengan ukuran lebih besar dari 200 mesh.
III.1.2. Penentuan Banyaknya Spesimen Yang Akan Dibuat
Fraksi volume penguat divariasikan sebesar 10, 25, dan 40 persen untuk masing- masing sampel abu sekam (A, B, dan C) sehingga dalam penelitian ini akan didapatkan spesimen sebanyak sembilan jenis. Replikasi dilakukan sebanyak tiga kali sehingga jumlah spesimen total adalah 27 spesimen. Adapun penentuan banyak sampel berdasarkan variabel perlakuannya seperti yang ditunjukkan pada Tabel 3.2 berikut.
III.1.3. Penentuan Dimensi Komposit Yang Akan Dibuat
Dari cetakan yang telah tersedia diketahui memiliki diameter rongga cetakan berbentuk silinder sebesar 14 mm. Dalam penelitian ini akan dibuat spesimen komposit yang memiliki ukuran diamater dan tinggi yang sama sehingga diketahui volume spesimen komposit yang akan dibuat adalah sebesar 2,154 cm3.
III.1.4. Penentuan Dan Penimbangan Massa Masing – Masing Konstituen
Penentuan massa masing – masing kontituen (matriks dan penguat) dalam struktur komposit dilakukan sesuai fraksi volume masing – masing. Densitas komponen (matriks dan penguat) yaitu untuk Al sebesar 2,7 gr/cm3 dan silika amorf sebesar 2,21 gr/cm3. Massa masing – masing komponen ditentukan berdasarkan perhitungan persentase komponen dikalikan dengan volume komposit dikalikan dengan massa jenis komponen.
Dimana m SiO2 adalah massa silika (gr), V SiO2 adalah fraksi volume silika yang besarnya divariasikan menjadi 10, 25, dan 40 persen, ρ SiO2 adalah densitas silika yaitu sebesar 2,21 gr/cm3, m Al adalah massa alumunium (gr), V Al adalah fraksi volume alumunium yang besarnya adalah 100% - , ρ Al adalah densitas alumunium (gr/cm3) yaitu sebesar 2,70 gr/cm3 dan Vc adalah volume komposit yang besarnya adalah 2,154 cm3. Hasil perhitungan massa masing komponen adalah seperti ditunjukkan oleh Tabel 3.3 berikut.
III.1.5. Pencampuran Material Matriks Dan Penguatnya (Mixing)
Proses pencampuran yang digunakan adalah metode wet mixing dengan menambahkan pelarut polar, yaitu metil alkohol. Pencampuran dilakukan dengan menggunakan hot plate magnetic stirrer dengan temperatur pemanasan 80oC. Dalam metode wet mixing ini pengadukan terus dilakukan hingga larutan media pencampur menguap seluruhnya. Indikasinya ditunjukkan dengan stirrer yang telah berhenti berputar karena tertahan oleh gumpalan matriks dan penguat yang telah tercampur. Stirrer kemudian diambil dari baker yang berisi gumpalan sedangkan gumpalan tersebut dikeringkan dengan furnace pada temperatur konstan sebesar 100 oC selama 30 menit.
III.1.6. Kompaksi
Kompaksi dilakukan dengan metode cold compaction dimana proses penekanan dilakukan pada temperatur kamar serta tipe penekanan singgle compaction dimana arah kompaksi hanya satu arah. Sebagai bahan lubricant digunakan zinc stearat yang dioleskan secara merata pada permukaan rongga cetakan (dies) dan penekan. Besar tekanan kompaksi yang diberikan yaitu sebesar 15 kN dan lama penekanan 15 menit.
III.1.7. Sintering
Sintering dilakukan dengan menggunakan vacuum furnace dengan tekanan ruang vakum sebesar 10-2 torr (10-2 mmHg). Besar temperatur sinter yang diberikan yaitu 600 oC dengan lama penahanan (holding time) 2 jam.
III.1.8. Pengujian Tekan dan SEM
Pengujian tekan dilakukan untuk mendapatkan karakteristik grafik tegangan dan regangan sehingga bisa diketahui karakteristik mekanik dari masing – masing spesimen seperti nilai modulus elastisitas dan kekutan tarik komposit. Pengujian kompresi dilakukan sesuai standar ASTM E9 – 89a, yang digunakan untuk mengetahui nilai modulus elastisitas komposit yang menunjukkan karakteristik mekaniknya. Pengamatan struktur mikro dengan menggunakan SEM untuk mengetahui karakteristik ikatan antar muka yang terbentuk.
III.1.9. Pengukuran Densitas Setelah Sinter dan Fraksi Porositas
Sebagai data pendukung perlu juga dilakukan pengukuran densitas komposit setelah sinter dan fraksi porositas. Untuk pengukuran densitas setelah sinter digunakan metode archimides. Volume komposit setelah sintering diukur dengan prinsip archimides. Pertama, tentukan besarnya massa benda setelah sinter (ms) dengan timbangan seperti pada Gambar 3.1.(a), lalu tentukan berat benda (Ws) dengan cara mengalikan massa benda setelah sinter (ms) dengan nilai percepatan gravitasi bumi (g) yang besarnya 9,8 m/s2.
Dengan menggunakan timbangan gantung tentukan apparent weight (Wap) atau berat benda saat dicelup pada fluida. Gaya apung Fby, atau disebut juga buoyant force ditentukan dengan persamaan Fby = Ws - Wap, dimana Fby adalah sama dengan berat fluida yang dipindahkan (Wf), sehingga massa fluida yang dipindahkan (mf) dapat ditentukan dari persamaan 3.1 berikut.
Maka volume fluida yang dipindahkan dapat ditentukan berdasarkan Persamaan 3.4 berikut.
Dimana fluida yang digunakan pada penelitian ini adalah butanol dengan massa jenis sebesar 0.809 gr/cm3. Volume fluida yang dipindahkan (Vf) sama dengan volume benda yang dimasukkan fluida (Vs). Sehingga densitas benda setelah sinter adalah:
Porositas setelah sintering dapat dihitung, dimana terlebih dahulu densitas komposit teoritik, ρt ditentukan. Teori ini berdasarkan pada formula rule of mixture seperti pada persamaan 3.7. Hasil perhitungan densitas teoritis untuk fraksi volume 10, 20, 30, dan 40 persen disajikan pada Tabel 3.4. Porositas setelah sinter, Ps, ditentukan berdasarkan persamaan 3.8.
III.2 Variabel Penelitian
Adapun variabel penelitian dalam kegiatan ini disajikan dalam Tabel 3.5 berikut.
III.3. Flow Chart Penelitian
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
Sintesa silika dari sekam padi dilakukan secara bertahap yang meliputi pencucian, pengeringan, pengarangan, pengabuan, pemurnian dan identifikasi. Tahap awal dari sintesa silika dari sekam padi ini adalah, pencucian dilakukan dengan air yang bertujuan untuk membersihkan sekam dari impuritas akibat kotoran. Penimbangan dilakukan untuk tiga sampel, sampel A, B dan C, dengan berat masing – masing 250 gram. Selanjutnya, adalah pengeringan dengan sinar matahari dilanjutkan pengeringan dengan pengarangan dan pengabuan dengan furnace pada temperatur berbeda-beda dari tiap-tiap sampelnya.
Setelah proses pengabuan dengan variasi temperatur yang berbeda, ternyata dari masing – masing sampel, kecuali dari sampel C, didapatkan dua jenis produk, yaitu abu sekam berwarna hitam dan putih. Abu sekam yang berwarna putih terpisah dengan produk abu sekam yang berwarna hitam, dimana terletak pada pemukaan lapisan teratas dari produk abu sekam secara keseluruhan. Adapun visualisasi dari fenomena ini dapat dilihat pada Gambar 4.1. Pada sampel C, tidak terbentuk abu sekam yang berwarna putih, namun hanya terbentuk abu sekam berwarna hitam.
Pada sampel A dan B dimana terbentuk abu sekam berwarna putih dan hitam, dilakukan pemisahan diantaranya. Lalu massa masing – masing jenis produk abu sekam ini ditimbang. Adapun hasil penimbangan abu sekam pada sampel A, B, dan C disajikan pada Tabel 4.2.
Tahap selanjutnya adalah pemurnian dengan metode pengasaman menggunakan HCl pekat. Sampel yang pertama dimurnikan yaitu sampel A yang meliputi jenis sampel A berupa abu sekam berwarna putih, dan abu sekam berwarna hitam.
Pada sampel A yang berwarna hitam, setelah dilakukan pemurnian tidak dihasilkan abu sekam yang berwarna putih seperti yang diharapkan dimana seharusnya tampilan warna fisik silika berwarna putih. Hal ini dikarenakan pada sampel abu sekam A yang berwarna hitam kandungan unsur karbonnya sangat dominan yang menyebabkannya berwarna hitam dimana setelah ekstraksi pun unsur karbon ini tidak dapat dipisahkan dengan silika. Maka dapat dikatakan bahwa pada sampel abu sekam yang berwarna putihlah kandungan silikanya yang paling banyak.
Untuk itu, pada pemurnian sampel B cukup dilakukan pada abu sekam yang berwarna putih saja. Sedangkan pada sampel C, karena tidak terdapat abu sekam berwarna putih maka proses ekstraksi dilakukan pada sampel C secara keseluruhan yang berwarna hitam.Setelah Proses pemurnian dilakukan terhadap sampel A, B, dan C maka didapatkan sampel hasil pemurnian seperti ditunjukkan pada Gambar 4.2.
IV.1 Karakteristik Silika Yang Dihasilkan
Dalam penelitian ini, karakteristik silika yang akan dikaji meliputi karakteristik kualitas dan kuantitas silika yang dihasilkan dari variabel perlakuan temperatur pengabuan yang diberuikan pada sekam.
IV.1.1 Analisa Kualitatif
Sampel A, B, dan C ini diuji XRD untuk mengetahui apakah telah terbentuk silika. Hasil uji XRD disajikan pada Gambar 4.3. Dari Gambar 4.3 tersebut diketahui bahwa bentuk grafik dari masing – masing sampel menunjukkan kemiripan dalam hal nilai 2θ dimana terbentuk puncak – puncak difraksi serta terbentuknya fase amorf yang dapat dilihat dari terbentuknya noise pada grafik yang dihasilkan. Hal ini diakibatkan, sinar – X yang ditembakkan oleh alat XRD tidak mampu didifraksikan secara sempurna oleh struktur kristal yang amorf sehingga sudut difraksi sinar – X yang dibaca oleh alat menjadi tidak beraturan akibat terjadinya penghamburan.
Walaupun sama – sama terbentuk fase amorf, namun pada masing – masing sampel sebenarnya terdapat perbedaan karakteristik puncak tertinggi yang dihasilkan. Pada nilai 2θ sekitar 26, terlihat perbedaan nilai intensitas puncak tertinggi masing – masing sampel dimana akan kita dapatkan bahwa puncak terendah terjadi pada Sampel A dan tertinggi pada Sampel C. Selain itu dapat juga kita amati bahwa pada masing – masing sampel terdapat perbedaan bentuk puncak tertinggi yang terbentuk. Untuk sampel A puncak tertingginya adalah yang paling landai dibandingkan yang lainnya, sedangkan untuk sampel C adalah yang puncak tertingginya paling lancip. Dari sini dapat dikatakan bahwa dengan menaikkan temperatur pengabuan, maka akan semakin ada kecenderungan silika amorf bertransformasi menjadi fase kristalin dimana dari hasil pengujian XRD dapat ditunjukkan dengan semakin terbentuknya puncak yang semakin lancip dan semakin besar intensitasnya.
Hasil penelitian ini, khususnya pada Sampel A yang dikenakan temperatur pengabuan sebesar 600 oC sama dengan hasil percobaan yang dilakukan oleh Harsono (2002) dimana sama – sama didapatkan SiO2 dalam fasa amorf. Namun, pada sampel B dan C dengan temperatur pemanasan hingga 750oC dan 900oC perlu diteliti lebih lanjut seberapa banyakkah fase kristalin yang terbentuk dari variabel perlakuan temperatur pemanasan tersebut. Hal ini dikarenakan dari hasil pengujian XRD diketahui pada Sampel B dan C semakin cenderung membentuk fase kristalin dimana ditunjukkan dengan puncak grafik yang semakin lancip dan semakin tinggi intensitasnya. Hal ini sesuai dengan teori Hara (1986) dalam Harsono (2002) yang menyebutkan bahwa untuk mendapatkan fasa kristalin maka harus dilakukan pemanasan pada suhu di atas 650oC agar kristalinitas SiO2 meningkat sehingga dapat terbentuk fase kristobalit dan tridimit.
V.1.2 Analisa Kuantitatif
Pada analisa kuantitatif silika dalam abu sekan digunakan analisa gravimetri untuk mengetahui berapa persentase kandungan SiO2 dalam abu sekam yang dihasilkan, dimana hasil pengujian disajikan pada Tabel 4.5. Dari hasil pengujian gravimetri diketahui bahwa kandungan silika tertinggi terbentuk pada Sampel B yaitu pada temperatur pengabuan sebesar 750oC. Hasil ini ternyata di luar dari prediksi yang diharapkan, dimana berdasarkan Hwang, C. L., (2002) seharusnya pada temperatur pemanasan sekam yang semakin tinggi akan dapat dihasilkan kandungan silika yang semakin tinggi pula.
Penjelasan mengenai hal ini dapat dijelaskan apabila dihubungkan dengan diagram fasa SiO2 seperti yang ditunjukkan pada gambar 2.3. Ketika pemanasan dilakukan pada tekanan atmosfer yaitu sebesar 1 bar, maka saat temperatur pemanasan mencapai 900oC, temperatur ini telah mencapai temperatur perubahan fase dari quartz (high) menjadi SiO2 tridymite. Pada proses perubahan fasa kristal ini waktu tahan yang diberikan kurang memadai untuk terbentuknya SiO2 tridymite kristalin secara menyeluruh. Hal ini berakibat pada SiO2 amorf yang sudah memutuskan ikatan terhidratnya namun belum sempat menyusun atom – atomnya secara teratur untuk membentuk SiO2 kristalin akan membentuk SiO2 amorf dan sejumlah unsur silikon bebas yang bereaksi dengan zat pengotor atau lingkungan. Unsur silikon bebas inilah yang kemudian hilang selama proses karena bereaksi dengan zat pengotor yang kemudian mengakibatkan persentase silika total (amorf dan kristalin) pada Sampel C lebih rendah dibandingkan Sampel B.
IV.2 Karakteristik Ikatan Antar Muka Partikel Alumunium Dan Silika
Pengujian struktur mikro dengan SEM sedang dalam proses pengerjaan saat laporan ini dibuat. Tempat pengujian yaitu di Laboraturium Geologi Kuarter, Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, Jl. Dr. Junjunan 236 Bandung 40174. Dalam laporan ini penulis menampilkan foto SEM dari spesimen yang diuji yaitu spesimen dengan varibel temperatur pengabuan sekam sebesar 600oC, 750oC, dan 900oC pada fraksi volume penguat silika untuk masing – masing spesimen tersebut yakni sebesar 10 persen.
Dari foto SEM, dapat dilihat bahwa anatara partikel alumunium dan alumina terbentuk ikatan yang secara visual dapat dilihat pada gambar. Namun, hal ini perlu penelusuran lebih lanjut untuk mengetahui apakah struktur co-continuous AlSi/Al2O3 terbentuk.
V.3 Karakteristik Mekanik Komposit
Dari hasil pengujian tekan diketahui karakteristik keuatan tekan dari masing – masing spesimen seperti yang disajikan pada Gambar 4.2 Dari gambar tersebut dapat diketahui bahwa pada sampel dengan variabel temperatur pengabuan sekam sebesar 900oC memiliki karakteristik kekuatan tekan yang berbeda dengan sampel lainnya, khususnya untuk fraksi volume silika lebih besar dari 25 persen. Fenomena ini diakibatkan karena pada sampel tersebut mempunyai fraksi porositas yang rendah dimana karakteristik fraksi porositas dapat dilihat pada Gambar 4.6. Sedangkan dari karakteristik densitas komposit pada Gambar 4.3 dikeatahui bahwa untuk spesimen dengan variabel temperatur pengabuan sekam sebesar 900oC memberikan nilai densitas yang cenderung meningkat untuk fraksi volume penguat lebih besar dari 25 persen dibandingkan dengan spesimen pada variabel lainnya dimana memiliki tren karakteristik nilai densitas yang cenderung menurun. Ini berarti pada spesimen tersebut terjadi peningkatan berat.
Penjelasan dari fenomena naiknya nilai kekuatan tarik pada spesimen dengan temperatur pengabuan sekam sebesar 900oC adalah semakin rendah fraksi porositas yang terjadi akan semakin sedikit daerah yang menjdi konsentrasi tegangan ketika spesimen dikenakan beban mekanik. Karena jumlah konsentrasi tegangan yang sedikit, maka semakin sulit gejala – gejala failure (patah) dari suatu material memulai prosesnya, sehingga material yang seperti ini akan lebih kuat menerima beban mekanik dibandingkan denganmaterial yang mempunyai banyak daerah konsentrasi regangan, dimana dalam hal ini daerah tersebut dapat dikatakan sebagai produk cacat dari suatu proses pembuatan material.
Porositas merupakan salah satu bentuk cacat yang sering dijumpai pada produk – produk hasil pengecoran dan proses powder metallurgy. Dalam hubungannya dengan proses powder metallurgy, keberadaan cacat sulit untuk dipisahkan selama proses powder metallurgy yang digunakan yaitu proses manual.
Beberapa cara dapat dilakukan untuk mengurangi fraksi porositas pada produk powder metallurgy. Salah satu caranya adalah dengan mereduksi ukuran partikel serbuk yang akan dikompaksi seminimal mungkin. Dengan mereduksi ukuran partikel berarti memberikan sedikit kesempatan bagi partikel – partikel serbuk untuk membentuk rongga yang terbentuk antar permukaan partikel yang diakibatkan bentuk partikel yang kasar dan cukup besar sehingga cukup memberi ruang kosong. Walaupun rongga ini seharusnya hilang ketika proses pemadatan dilakukan, namun seringkali masih belum mampu menghilangkan secara keseluruhan keberadaan rongga tersebut terutama yang terletak di bagian dalam – tengah spesimen karena udara yang terjebak dan sulit keluar. Saat proses sinter dilakukan rongga ini seharusnya akan semakin berkurang lagi, namun karena letak porous terlalu jauh dari permukaan spesmen sehingga mengakibatkan udara terjebak di dalam spesimen saat setelah sinter.
Dalam penelitian ini, walaupun telah dilakukan upaya untuk mereduksi ukuran partikel dengan menggunakan mortar, hingga ketika diayak partikel lolos ayakan dengan kerapatan ayakan sebesar 200 mesh, namun kenyataanya porositas yang terjadi masih tetap ada dimana kisarannya dalah 1 – 8 persen dari volume komposit.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
VI.1 Kesimpulan
Berdasarkan data penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan dapat dibuat beberapa kesimpulan dari penelitian ini yaitu sebagai berikut.
- Variasi temperatur pengabuan sekam dalam furnace sebesar 600oC, 750oC dan 900oC ternyata mampu menghasilkan produk silika dengan struktur kristal yang sebagian amorf dan sebagian lagi kristalin dengan persentase kandungan silika paling tinggi didapatkan dengan perlakuan temperatur pengabuan 750oC yaitu sebesar 91 persen.
- Dari pengujian SEM diketahui bahwa antara partikel alumunium dan silika terbentuk ikatan antar muka
- Untuk karakteristik kekuatan tekan diketahui bahwa yang paling baik adalah spesimen dengan temperatur pengabuan silika sebesar 900oC dan fraksi volume penguat lebih besar dari 25 persen.
Adapun saran yang dapat disampaikan hasil penelitian ini disajikan sebagai berikut.
- Beberapa perhitungan, pengamatan dan pengujian perlu dilakukan lebih lanjut untuk mengetahui secara lebih mendetail hasil percobaan ini. Hal ini dikarenakan keterbatasan waktu dan biaya yang diberikan kurang mendukung. Untuk itu pada penelitian selanjutnya terdapat beberapa hal yang perlu ditelaah dari hasil penelitian ini yaitu perbandingan jumlah silika kristalin dan amorf yang dihasilkan dalam abu sekam, karakteristik thermal, perilaku korosi, serta karakteristik mekanik yang meliputi karakteristik impak, kekerasan dan abrasivitas komposit.
- Penelitian pendukung sebaiknya dilakukan dengan variasi perlakuan yang lain dimana nantinya dapat dijadikan sebagai pendukung dari penelitian ini mengingat penelitian ini merupakan penelitian awalan dari penelitian besar yang masih memiliki banyak varibel yang perlu diteliti untuk bisa mengetahui variabel – variable terbaik yang dapat dijadikan sebagai refrensi dalam produksi komponen otomotif berbasis komposit alumunium – silika.
- Mengingat potensi pemanfaatan dari silika yang luas dimana tidak hanya seperti yang ditujukan dari penelitian ini yaitu sebagai bahan penguat dari komposit bermatriks alumunium, tetapi juga banyak dimanfaatkan sebagai bahan dasar pembuatan kaca, dan bahan baku peralatan – peralatan elektronik, maka perlu diadakan suatu sistem industrialisasi ekstraksi silika dari sekam padi, agar nantinya dapat menambah stok silika dalam negeri.
- _________, 1998. ASM Handbook Vol. 7, Powder Metal Technologies and Aplications. ASM International
- Chawla, K. K. 1987. Composite Material: Science and Engineering. London Paris Tokyo : Springer-Verlag New York Berlin Heidelberg.
- Fogagnolo, J.B., 2004. Aluminium Matrix Composites Reinforced with Si3N4, AIN and ZrB2, Produced by conventional powder Metallurgy and Mechanical Alloying. Avenide de la Universid, 30-28911
- Froyen, L., dan Verlinden, B., 1994. Aluminium Matrix Composites Materials. Talat 1402. Belgium : European Aluminium Associations (EAA)
- Gregolin, E. N., 2002. Alumunium Matrix Composites Reinforced With Co – Continuous Interlaced Phases Alumunium – Alumina Needles. Materials Research, vol.5, no.3 São Carlos July/Sept. 2002
- Harsono, H. 2002. Pembuatan Silika Amorf Dari Limbah Sekam Padi. Jurnal Ilmu dasar Vol. 3, No. 2, 2002 : 98 – 103
- Hirschhorn. Joel. S., 1976. Introduction to Powder Metallurgy. New Jersey : American Powder Metallurgy Institute.
- Hwang, C.L. and Wu, D.S., 1989. Properties of Cement Paste Containing Rice Husk Ash. ACI Third International Conference Proceedings, pg. 738.
- Jones, R. M. 1975. Mechanics Of Composite Material. Washington, DC : Scripta Book Company
- Kang Suk – Joong., 2005. Sintering : Densifikation, Grain Growth and Microstructures. Elseviere - Butterworth. Heinemenn
- Mantell, C. L., 1958. Engineering Material Handbook. New York : McGraw – Hill Book Company.
- Mittal, D. 1997. Silica From Ash, A Valuable Produst From Waste Material. Resonance, July
- Nursuhud, D., dan Basuki, T. (1989). Suatu Studi Kemungkinan Pemakaian Bahan Bakar Sekam Padi untuk Pusat Listrik Tenaga Uap Sistem Gasifikasi. Laporan Penelitian Program Studi Teknik Mesin Fakultas Teknik Industri. Surabaya : Pusat Penelitian Institut Teknologi Sepuluh Nopember.
- Pakpahan, A. 2006. Padi Lebih Bernilai dari Emas. Suara Pembaharuan, 20 November 2006.
- PM2 Industry, 2001. Vision And Technology Roadmap, Powder Metallurgy And Particulate Materials. Metal Powder Industries Federation (MPIF), September, 2001.
- Schumacher C.,1991, SAE Technology, paper No.892495
- Workshop Roadmap Industri Komponen Otomotif. 13 Oktober 2004. dalam http://www.bppt.go.id/. dikunjungi : 8 September 2007 pukul 07.15 WIB
TIM PENELITI
- Alek Kurniawan Apriyanto
- Moch. Zaenal Arifin
- Huda Istikha Lubis
- Rahmatillah Isra
Subscribe to:
Posts (Atom)